Aku hampir ekstase dan mengundurkan diri dari dunia ini,
namun lambat laun aku mengerti apa yang sebenarnya dihadapi oleh ayah, ibu,
beberapa saudara, paman dan bibi dalam kehidupan ini. Mereka mempertahankan
diri untuk dapat melangsungkan kehidupan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan
prioritas utama yakni anaknya. Bukan berarti mereka tidak ingin bebas, keadaan
yang membuatnya demikian. Pernah, tangis bibi kudengar disudut pintu rs,
melihat saudara sepupuku(anaknya) yang berulangkali kumat atas penyakit
kronisnya. Kau tau dimana posisi kita? Kita hanya melihat, mengibakan,
mendoakan dengan keadaan yang semacam ini. Kau tau bagaimana bapernya kita
untuk menengok sedikit barangkali kita akan berfikir bahwa segala perjuangan
yang sedang kita laksanakan tidak menuntut untuk kegagalan, tidak menuntut
untuk berhenti, hanya saja cara mendidik manusia masa kini yang terbaik yakni
lewat penderitaan. Karena seringkali penderitaan menusuk relung kalbu, sehingga
pada kemudian hari hal ihwalnya akan lebih berhati-hati. Kembali, disudut pintu
rs, bibi terisak dan berkata : apa salah keluargaku hingga aku diuji demikian?
Jika aku yang bersalah, dengan cara apa bisa menebusnya? Biar aku yang
menanggung beban tersebut, dibanding anak kecil yang belum tahu apa-apa, namun
sulit berbuat apa-apa. Wan, kau yang lebih tahu dariku, apa yang bisa kulakukan
untuknya? Sambil airmata itu mengalir membasahi pipi bibiku. Aku seperti
terkena sengatan, di jantung yang berdebar demikian heboh, aku sendiri pun
makhluk hina yang berdiri di depanmu bi, barang sedikitpun ku tak tahu
rahasia-Nya. Tanganku sudah bergetar, mataku tak lagi bisa melihat dengan pasti
sekelilingnya, yang kulihat sekarang bibi sedang meratapi kehidupannya.
0 komentar:
Posting Komentar