menemukan-Mu dalam bait-bait diriku

Jumat, 22 November 2013

Sketsa Senja III

Terbangun, diantara sela mimpi takjubku. Ada suara pukulan dari potongan kayu meramaikan suasana subuh yang entah ke berapa dalam hidupku. Pintu-pintu digedor-gedor oleh pengurus pondok menyuarakan adanya pembangkitan diri menuju sumber suara. Yah,suara adzan subuh berkumandang di seantero desa benda. Tidak ada lagi suara yg lebih nyaring selain berkumandangnya adzan subuh ini, suara serak basah tanpa harus dicampuri, bagai cantik tanpa kosmetik  tidak ada yang dibuat-buat. Terdengar pula suara tidak nyaring di setiap lantai, suara peringatan! “semua santri, untuk segera mendatangi masjid An-Nur guna menjalankan shalat shubuh berjama’ah dilanjutkan dengan mengaji Al Qur’an di kelas masing-masing, waktu tinggal 3 menit, terlambat cekrik(potong rambut sebelah)!” lontar pengurus. Para santri bergegas berlari, berjalan dengan kantuknya masing-masing. Ah, subuh terlalu sejuk dan dingin untuk kita berceloteh memang, lebih baik diam dengan pemikiran yang masih bening, bagai embun pagi.
Tak lama, Abah yai rawuh dalam pengimaman, iqomah dilantunkan oleh beliau Kang Domo(Putra An Nur) orang yang sudah mengabdi selama 13 tahun ini. siapa yang tidak mengenal Abah yai di pesantren Al Hikmah? Ah, pertanyaan ini tidak perlu dinyatakan kembali,  sudah barang tentu para santri mengenal beliau entah lewat jalur mana cara mengenalnya. Seusai sholat dilanjutkan wirid ba’da shalat  “Allahumma antassalam waminkassalam wa ilaika yarji’ussalam fahayyina rabbanaa bissalam, wa adkhilna jannata daarassalaam, tabarakta rabbana wa ta aalaita yaa dzaljalaali wal ikram. (
Ya Allah Engkaulah As-Salam (keselamatan, keberkahan, kemulian, ketenangan) dan keselamatan dari-Mu dan keselamatan kembali padaMu, berilah keselamatan dalam hidup kami, Dan masukkan kami ke dalam surga Darussalam, Maha Suci Engkau ya Rabb yang Maha Luhur, yang Maha agung dan Maha Mulia.
Seusai do’a bersama, para santri bubar dengan niat masing-masing, ada yang berlari dengan tujuan ingin menjadi urutan pertama dalam setoran pengajian Al Qur’an biar cepat pulangnya, ada yang berlari untuk menyelamatkan sandalnya, hehe..ada pula yang berlari untuk bersegera ke toilet, hehe..dan masih ada-ada saja.

***
Tepat 08.00 Wib, berseragam hitam putih dibalut dengan jaket seragam osis SMP Al Hikmah, aku bergegas mendatangi gor, ya ini acara maulid Nabi tepat tanggal 29 maret 2008, dimana aku akan dpertemukan secara berhadapan pertama kalinya dengan gadis berwajah senja itu. Oh ibu, anakmu yang satu ini sudah habis pikir untuk mencari cara awal komunikasi, karena ini baru pertama kalinya. Tiba-tiba dalam lamunanku di depan sana, dikejutkan dengan kehadiran yang sudah tak asing lagi, dua orang yang berjalan berseragam sama persis sepertiku tapi mereka tanpa peci melainkan kerudung, hehe. Mereka adalah anggota panitia konsumsi yang sudah dibagi jobnya pada saat rapat maulid nabi di gedung SMP Al hikmah. Awal yang kaku dengan sapa salah satu dari mereka, Ka? kami sudah persiapkan konsumsinya, tinggal pembayarannya saja, celetuk Nisa. Mataku masih memandang takjub pada gadis sebelahnya Nisa, ya dia-lah gadis berwajah senja itu, mata tertunduknya, rona pipi dan senyum tipis yang mengemban membuatku tak bergeming dengan celotehannya Nisa. Eh, dengan beraninnya Nisa melambaikan tangan. Ka Ali…!terkejut dibuatnya bergegas aku menata kembali berdiriku.” Eh, iya Nisa, jadi gimana tadi konsumsinya?” timpalku. “Hu… Ka Ali memikirkan apa sih? Dari tadi Nisa itu mengulang-ngulang kata-katanya loh.” Jawab Nisa. “Oh iya maaf, tadi baru saja aku berfikir banyak ternyata ya, keindahan yang dikebiri, tuh contohnya patung-patung di borobudur, tapi tidak selamanya memang keindahan yang dikebiri itu seperti patung, bisa jadi manusia menjadi obyeknya, tapi tidak berlaku perempuan yang ada dihadapanku, eh maaf maksudku ibuku” jawabku. Ah, aku gak mengerti ka, kata-kata itu tadi barusan, yang jelas saya dan temanku ini sudah mempersiapkan konsumsinya, tinggal pembayarannya saja” timpal Nisa.  syukurlah Nisa tidak tahu maksudku. Aku lalu menyodorkan uang untuk pembayaran kepada gadis berwajah senja itu, lagi-lagi tangan Nisa selalu menyambut terlebih dahulu. Pada akhirnya aku hanya menatap wajah senja itu tanpa berbicara sepatah kata pun terhadapnya. Dan dia pun pergi kembali menghilang perlahan dari hadapanku. Entahlah, aku tak pernah menanam apa-apa, dan aku pun takkan pernah kehilangan apa-apa. Tetapi jika aku menanam cinta? Entahlah…
acara maulid berjalan dengan baik, ini adalah pertama kalinya SMP Al Hikmah mengadakan acara tersebut dengan melibatkan kelas akhir sebagai panitia, yah..ini memang sudah menjadi kehendakNya.
***
Senja ini, setelah berakhirnya acara maulid nabi, aku duduk ditemani padi menguning yang makin merunduk, dibelakang komplek Al hasan ini, ada bebukitan menjulang tinggi, kabut putih menyelimuti puncak Gunung Slamet. Keindahan dengan ketinggian 3.432 m, merupakan gunung teritnggi kedua di jawa setelah merbabu. Gunung Slamet masih berstatus sebagai gunung berapi yang aktif. Aktifitas vulkaniknya masih terus berlangsung hingga sekarang. Aktifitas yang paling terlihat tentu saja semburan belerang di kawahnya. Selain belerang, sumber air panas yang ada di kaki gunung ini juga menandakan bahwa gunung ini masih beraktifitas. Gunung Slamet terletak di lima wilayah administrasi, Tegal, Pemalang, Purbalingga, Banyumas dan Brebes. Masing masing daerah memiliki jalur pendakian tersendiri dengan puncak tersendiri. Gunung Slamet memiliki tipe gunung khas gunung gunung di Jawa Barat. Dengan hutan yang lebat di sepanjang jalur pendakian dan minimnya padang sabana. Hampir seluruh jalur pendakian tertutup hutan tebal, hanya terdapat sedikit trek terbuka. Tapi sayangnya puncak dari jalur Guci bukanlah top puncak. Top puncak adalah dari jalur pendakian Bambangan dan Kaligua. Hmm, entahlah.. kapan aku bisa mendaki gunung slamet. Tak lupa, jari jemariku yang tak jarang bermusuhan memegang pena dan setumpuk buku diary usangku. “ ada sajak berbaris rapi yang kian menepi, meski sepi sudah akhirnya ingin bertemu kembali. Aku tidak pernah tahu kapan kesudahan ini berakhir,  tentang kerinduan yang terobati meski sekejap. Akhirnya semua tiba pada waktunya- ketika sudah tidak ada lagi cara untuk berbagi, tidak ada lagi cari untuk menahan sepi. Baru saja ku lihat bidadari bumi datang menghampiriku, wajah indahnya sudah tak lagi ku hiraukan, karena bentuk jasadiyah akan lapuk di makan usia. Aku sudah tidak tahu mencintainya karena apa, karena aku tidak ada apa-apa untuk mengapa-apakan tentangnya. Perwujudan jasad adalah simbol hadirnya ia yang sejati, meski aku  tidak pernah tahu dia yang sejati. Namun, aku nyaman jika melihatnya meski dari kaca jendela sekalipun yang selalu jadikan media melihatnya. Aku tidak pernah menghiraukan tentang cinta yang isunya mampu patah-patah, retak dan kadaluarsa. Sebab aku sedang mengisi gelas yang kosong, apapun yang akan terisi, gelas tetaplah gelas tak akan berubah namanya. Biarlah, senja ini adalah saksi yang bisa menyuarakan kesaksiannya tanpa harus menyelipkan amplop berisi rupiah kepada kantong yang lainnya. Biarlah, waktu yang akan menjawab tentang keberadaan kita di persada dunia fana ini.  bukan lagi tentang cerita laila majnun. Aku hanya tahu, bahwa laila adalah malam, sedang majnun  adalah orang gila. Hingga aku ingin menggabungkan bahwa malam adalah tempatnya orang menggila dalam bersuluk menuju jalan hakikat. Malam adalah gelap berwarna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk menyamarkan yang sejatinya “ada” itu “tidak ada”, sedangkan yang “tidak ada” diterka “bukan”, yang “bukan” diterka “ya”. Dan ini bukan hanya kisah pemuda yang terlena tentang cintanya kepada manusia saja, melainkan cintanya kepada pemilik cinta. Aku tunggu dikau dengan tidak tahuku”.
                                                                                                        17.45 Wib 29/03/2008

                                                                                                       Catatan untukmu gadis berwajah senja.

            Bel tanda persiapan shalat jamaah maghrib berbunyi, pertanda aku harus mengakhiri catatan di diary usangku hari ini juga. Aku bergegas menutup rapat, berdiri tegak menatap ufuk barat, oh..ini memang senja yang indah, meski tidak semua dapat mengindahkan, dan mendefiniskan tentang sketsa senja ini, tidaklah penting! Yang jelas senja tetaplah senja bagian dari kehidupan kita yang sebentar dan pasti terlewati.

Bersambung…
Setiap orang adalah lakon. Bukan figuran, 
Share:

0 komentar:

Blogger templates