menemukan-Mu dalam bait-bait diriku

Jumat, 22 November 2013

Sketsa Senja II


Diamku, sejenak  menghela nafas dalam diantara tamu undangan rapat acara Maulid Nabi, tertunduk dalam seperti orang yang benar-benar asing, hati yang berbunga-bunga hanya mengatakan dimana dia? Sedari menunduk  tadi tidak kulihat dia, kutenangkan betul ketegangan jasadku walau hati benar-benar penuh bunga yang berharap semerbak wanginnya. Aku benar-benar seperti mencari jarum yang jatuh dalam tumpukkan jerami, ataupun mencari mutiara yang jatuh dalam lumpur. Diruang yang diisi 30 orang ini, sepertinya memang banyak wajah-wajah yang tidak kukenal,  terkecuali gadis berwajah senja itu. Ketika kucoba menfokuskan dalam kepanitian acara maulid nabi yang disampaikan oleh ketua, pintu yang ditutup rapat terbuka perlahan  diiringi masuknya dua gadis secara berurutan, salah satu darinya berucap “mhon maaf atas keterlambatan kami”, aku lihat dengan jelas tepat dibelakang gadis yang berucap permohonan maaf, tak asing wajahnya, berkerudung  belang hitam corak hias putih yang pernah kulihat di masjid, dia adalah gadis berwajah senja itu,  kau tahu bukan? Jarum dalam tumpukkan jerami dan mutiara dalam lumpur telah ditemukan, iya semua itu bukan mimpi, berkali-kali kucubit lenganku ternyata sakit, hehe. Dia pun duduk tepat ditengah,  aku lihat wajahnya bersemu merah,nafasnya tidak teratur, mungkin dia berlari kecil ketika hendak memasuki ruangan rapat.ketika ditengah acara, mas ketua ozan(sebutan populernya  ciblek, hehe) mempersilahkan dia gadis berwajah senja  selaku bendahara untuk melaporkan kas bulanan dan anggaran untuk acara Maulid Nabi. Oh Ibu…ini pertama kalinya anakmu mendengarkan suaranya, gugup merdu terlontar dalam ucapannya, entah karena apa yang jelas perlahan kutemukan bunga yang semerbak wangi, menghilangkan keterasingan yang melanda . Acara demi waktu menghampiri usainya, kini pembagian kepanitian disebutkan, aku tercatat sebagai koor. Konsumsi, mungkin melihat tubuh kurusku kali ya, supaya bisa memperbaiki gizi, hehe…itu tidak penting jelasnya ada yang lebih utama, ya…. Tidak terduga dia gadis berwajah senja itu menjadi anggota konsumsi. Adzan dhuhur mengakhir acara Oh…Ya Rabb aku tak mampu membayangkan untuk hari esok…
***
Semilir angin begitu menyejukkanku, di pematang sawah dekat grand house(sebutan buat tempat tanaman hias yang ditutupi jaring-jaring kecil),diiringi cahaya merah gegap geminta terbentang diufuk barat ,ditemani dengan ocehan para supporter  bola ala santri(pakai sarung), seperti biasa ustadz yang dikenal sebagai senior yang mau kumpul rembug dengan para junior sudah berdiri tegak di lapangan, semangat gigihnya tidak hanya dilihat dalam bermain bola saja, namun beliau mampu melewati 20 tahun di pon. Pes Al Hikmah, suka-duka beliau lewatkan dengan berbagai cerita dalam pengajian kitab  Safinatun An-Najah(Perahu yang selamat)yang terkadang membuat tawa dan sedih para santri, beliau dijuluki Lurahnya Abdi Dalem( abdi dalem;santri yang bekerja dalam titah kyai). Beliau tidak pernah sedikit pun terlihat rentan dalam menjalankan tugasnya, berbeda denganku yang suka bermalas-malasan, kebiasaan santri al hikmah, memang menyukai mengundang marah pengurus komplek, dengan berbagai aksi, dari acara membolos, terlambat bangun dan jama’ah. Pernah suatu saat telat bangun karena pada malam itu aku melek bengi(terjaga), ternyata pas subuh ustadz senior yang bernama lengkap Slamet Sofyan, membangunkan para santri dengan membawa gayung berisi air penuh,bak menyirami tanaman di ground house saja, ustadz senior ini menyiramkannya terhadapku, segeer…ya tetapi rasa pekewuh(malu) begitu menjelma dalam ingatanku. Semenjak itulah aku selalu bangun sebelum beliau ngoprak-ngoprak(membangunkan, menyuruh berangkat jama’ah) walau terkadang aku berpura-pura duduk bersila dengan mata merem melek..hehe.
Akhirnya usailah pertandingan sepak bola ala santri, diikuti catatan diaryku yang penuh rasa dalam senja ini, ku tulis jelas “ kehidupan ini bagai bola dalam bawaan pribadi masing-masing, semakin tangguh-rapuh pembawanya, semakin nyata pula apa yang diharapkan dan tidaknya”. Aku bergegas hendak ke komplek bersiap membuka telinga lebar, hati yang semoga dilapangkan, Al…terdengar suara ustadz Slamet menyapaku, memberi kode etik…siap komandan!(dalam hatiku,hehe). Seperti biasanya ustadz senior yang  tak asing ini selalu mengajakku makan, ngopi dan duduk bersama. Ini memang berawal dari pengajian kitab Safinatun An Najah, seusai pengajian kitab tersebut, aku pun masuk kamar ustman bin ‘affan. teman baikku asep menghampiriku kemudian menyampaiakan pesan bahwa ustadz slamet mengundangku untuk ke gubuknya. Dengan bertanya besar aku mendatangi gubuk tercintanya, ternyata ustadz slamet telah menyediakan makananan untuk disantap bersama, dan semenjak itulah hingga akhir beliau disini aku tetap jadi santri dekatnya. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang harus aku sampaikan kepada ustadz yang satu ini, termasuk kedekatanku juga dipertanyakan teman-temanku, namun aku urung untuk bertanya. Sebab, aku percaya pertanyaanku lebih indah terjawab seiring dengan realita yang aku hadapi, itulah jawabannya..!! seusai makan dan bercanda riang di gubuk beserta para abdi dalem , aku pamit untuk segera bersiap-siap jama’ah shalat maghrib, seperti biasa suara lantang pengurus komplek mengumandangkan kata ampuhnya “waktu tinggal 10 menit, yang terlambat dicekrik(potong rambutnya)”

***
Disini, dalam ketersendirianku,  menatap atap-atap kerapuhan, kesunyian melanda, berbagai persepsi tercipta, ada bayang-bayang nyata menghampiri ketersendirianku, entah aku sedang berada dimana, di gurun  yang tak kunjung menemukan oase-kah? Menutupi kerapuhan yang sejatinya memerlukan pelepas dahaga-kah? Terlalu angkuh-kah? jika haus tak pernah mencari air, jika sakit tak pernah mencari tabib(dokter),jika lapar tak pernah mencari makan? Ada entah berapa partikel yang saling berkait dalam diri setiap manusia, yang menyebabkan sebab-akibat menjadi penentu partikel tersebut. Siapa sebenarnya penciptanya? Bukankah lebih memegang kendali dengan wujud kekuasaan? Meski, banyak dari keterwujudanNya selalu adigang, adigung dan adiguna. Meski banyak kekuasaanNya itu di nilai seperti biji sawi, dan mengaku sebagai bagian dari kepemilikan kekuasaan? Aneh, ketidakmilikan yang dititipkan sering membuat perebutan kekuasaan fana, apakah itu bias dari dua sinar yang berlawanan? Hingga malah menjadi fatamorgana.
Sadar, ketersendirianku menyebabkan aku berdiskusi ria dengan batinku, entah berapa lama yang jelas aku ingin melanjutkan dengan muroqobah(kontak batin dengan wali mursyid tarekat). Ku awali dengan memejamkan mata jasadku, bahwa memejamkan adalah menghindari tegur sapa dengan ketidakmanfaatan, ketidakjelasan mata jasad dalam setiap berkedip. Hanya dalam keadaan mata jasad tertutup, manusia pilihan yang intiqal(berpindah alam) dikatakan khusnul khatimah, manusia mampu berkomunikasi dengan batinnya(hati). Setiap hela nafas yang menderu ialah awal dari langkahku memejamkan mata jasadku, menyelusuri lorong hitam berkabut putih tebal yang kadang membuat terombang-ambing dengan pernyataan titik temu yang sering dinisbatkan dengan kata kebenaran. Aku sering tertipu daya akan kenikmatan dalam tertutupnya mata jasad, padahal kenikmatan yang suka menipu lagi melalaikan adalah cobaan. Sayang, rupa,warna dan bentuk acapkali membuat terlalu unggul diri, terpedaya sehingga terhenti langkah-langkah selanjutnya. Setelah kulewati kabut putih tebal, Nampak banyak jiwa berbaris rapi, berjubah putih, bersyibhah(di tangannya memegang tasbih), melafalkan hadroh kamilah(baca;syair-syair). Menanti kedatangan sang guru, suara redam melihat sosok tersebut, dengan jalan wibawanya, senyum berkembang disetiap kedip mata, sungguh, aku merindukkan sosok yang selalu tenang dalam keadaan apapun, beliau sedikit pun tak mempunyai wajah yang berkerut-cemberut, tahu akan bedanya bukan? Wajah periang terlihat segar untuk dipandang, sedang wajah sayu terlihat?....beliau berdiri tanpa mimbar, meski beliau berderajat, mengisyarahkan untuk melingkar. Aku yakin betul, ini berkaitan dengan teori titik(nuqtah), kebetulan  Aku sendiri mendapatkan undangan  yang berbentuk lingkaran, dengan hiasan angka nol (0) di atasnya, yang bertuliskan, "Keterwujudan dari kehampaan, kehampaan dari ketiadaan, ketiadaan dari kegaiban, kegaiban dari ketakterhinggaan, dan ketakterhinggaan dari cinta keabadian". Ketika kubaca dengan seksama, kata demi kata, yang terukir indah di dalam tulisan tersebut, tiba-tiba saja, sang guru yang merangkai undangan itu untukku, bertanya kepadaku, "Tahukah kamu, dari manakah asal-usul huruf-hurufku ini?". Aku hanya terdiam mendengar pertanyaannya. "Huruf itu berasal dari kumpulan garis, garis berasal dari titik yang diperpanjang, titik berasal dari nuqt}ah hitam. Dengan demikian, maka deret angka berasal dari angka sebelumnya, dan angka sebelumnya berasal dari angka nol (0). Oleh karena itu, maka nuqt}ah atau titik hitam, identik dengan angka nol (0). Nol (0) adalah titik nuqt}ah, dan titik nuqt}ah adalah nol (0)". Karena huruf tersebut masih penasaran dengan jawaban,  kembali bertanya, "Bagaimanakah caranya menunjukkan keidentikkan, antara titik nuqt}ah dengan angka nol (0)?". Jawab beliau , "Jika angka 10 (sepuluh) Latin ditulis dengan angka 1 dan 0, maka angka 1. (sepuluh) Arab ditulis dengan angka 1 dan . (titik). Dengan demikian, jika 1 sama dengan 1, maka nol (0) sama dengan titik (.) atau nuqt}ah". "Jika sebuah nama terangkai dari beberapa kata, dan kata terangkai oleh beberapa garis, dan garis terangkai oleh kumpulan beberapa titik, dan titik terangkai oleh kumpulan titik-titik nuqt}ah yang lebih kecil, maka dapat disimpulkan, tidak akan ada sebuah nama, jika tanpa adanya titik nuqt}ah!". "Ya", jawabku. "Siapakah yang mendahului nama, yang terangkai oleh beberapa kata tersebut?". Jawabnya, "Yang mendahului nama, adalah zat atau benda yang diberi nama. Misalnya begini, Anda tidak bisa menyebut sebuah benda itu dengan nama angin, jika zat angin-nya tidak pernah terwujud. Anda tidak bisa menyebut benda itu dengan nol, jika zat bendanya (0) tidak pernah terwujud". "Apakah sama, antara nama dengan zat bendanya?". Jawabku, "Apakah sama, antara tulisan spidol yang tertulis di depan papan tulis, dengan benda spidolnya, yang tersimpan di belakang papan tulis?. Apakah sama, antara tulisan Allah yang tertulis di papan surat cinta, dengan zat-Nya, yang tersembunyi di balik hijab kegaiban mutlak-Nya?". "Tidak sama", jawabnya. Lanjut beliau, "Oleh karena itu, antara nama dengan zatnya berbeda".
            Setelah melingkar, mendekap segala rasa asa yang dibawa, kini seolah hancur lebur tak tersisa memandang wajah indah ciptaan-Nya, itulah mahabbah, sebesar dan sekecil apa bukanlah ukuran ketenangan dan kenyamanan menikmati keindahan. Berbeda dengan orang yang sudah mampu benar mahabbah, ia suka rela melepaskan apa pun demi mendapat cinta dari Sang Pemilik Cinta. Bahwa jalan berliku, menanjak, lurus berlubang hanya uji coba yang suka diseriuskan melebihi keterbatasan makhluk.

Sang guru pun bersabda : Kekasihku tidak bisa membaca dengan mata kepala, tetapi ia bisa melihat dengan mata hati. Kekasihku tidak bisa menulis dengan tangan, tetapi sentuhannya menuliskan kedamaian. Kekasihku adalah cinta pertama, sehingga dialah asal semua cinta.

Bersambung.......


.


Share:

0 komentar:

Blogger templates