Diamku, sejenak menghela
nafas dalam diantara tamu undangan rapat acara Maulid Nabi, tertunduk dalam
seperti orang yang benar-benar asing, hati yang berbunga-bunga hanya mengatakan
dimana dia? Sedari menunduk tadi tidak
kulihat dia, kutenangkan betul ketegangan jasadku walau hati benar-benar penuh
bunga yang berharap semerbak wanginnya. Aku benar-benar seperti mencari jarum
yang jatuh dalam tumpukkan jerami, ataupun mencari mutiara yang jatuh dalam
lumpur. Diruang yang diisi 30 orang ini, sepertinya memang banyak wajah-wajah
yang tidak kukenal, terkecuali gadis
berwajah senja itu. Ketika kucoba menfokuskan dalam kepanitian acara maulid
nabi yang disampaikan oleh ketua, pintu yang ditutup rapat terbuka
perlahan diiringi masuknya dua gadis secara
berurutan, salah satu darinya berucap “mhon maaf atas keterlambatan kami”, aku
lihat dengan jelas tepat dibelakang gadis yang berucap permohonan maaf, tak
asing wajahnya, berkerudung belang hitam
corak hias putih yang pernah kulihat di masjid, dia adalah gadis berwajah senja
itu, kau tahu bukan? Jarum dalam
tumpukkan jerami dan mutiara dalam lumpur telah ditemukan, iya semua itu bukan
mimpi, berkali-kali kucubit lenganku ternyata sakit, hehe. Dia pun duduk tepat
ditengah, aku lihat wajahnya bersemu
merah,nafasnya tidak teratur, mungkin dia berlari kecil ketika hendak memasuki
ruangan rapat.ketika ditengah acara, mas ketua ozan(sebutan populernya ciblek, hehe) mempersilahkan dia gadis
berwajah senja selaku bendahara untuk
melaporkan kas bulanan dan anggaran untuk acara Maulid Nabi. Oh Ibu…ini pertama
kalinya anakmu mendengarkan suaranya, gugup merdu terlontar dalam ucapannya,
entah karena apa yang jelas perlahan kutemukan bunga yang semerbak wangi,
menghilangkan keterasingan yang melanda . Acara demi waktu menghampiri usainya,
kini pembagian kepanitian disebutkan, aku tercatat sebagai koor. Konsumsi,
mungkin melihat tubuh kurusku kali ya, supaya bisa memperbaiki gizi, hehe…itu
tidak penting jelasnya ada yang lebih utama, ya…. Tidak terduga dia gadis
berwajah senja itu menjadi anggota konsumsi. Adzan dhuhur mengakhir acara Oh…Ya
Rabb aku tak mampu membayangkan untuk hari esok…
***
Semilir angin begitu menyejukkanku, di pematang sawah dekat grand
house(sebutan buat tempat tanaman hias yang ditutupi jaring-jaring
kecil),diiringi cahaya merah gegap geminta terbentang diufuk barat ,ditemani
dengan ocehan para supporter bola ala
santri(pakai sarung), seperti biasa ustadz yang dikenal sebagai senior yang mau
kumpul rembug dengan para junior sudah berdiri tegak di lapangan, semangat
gigihnya tidak hanya dilihat dalam bermain bola saja, namun beliau mampu
melewati 20 tahun di pon. Pes Al Hikmah, suka-duka beliau lewatkan dengan
berbagai cerita dalam pengajian kitab Safinatun An-Najah(Perahu yang
selamat)yang terkadang membuat tawa dan sedih para santri, beliau dijuluki
Lurahnya Abdi Dalem( abdi dalem;santri yang bekerja dalam titah kyai). Beliau
tidak pernah sedikit pun terlihat rentan dalam menjalankan tugasnya, berbeda
denganku yang suka bermalas-malasan, kebiasaan santri al hikmah, memang
menyukai mengundang marah pengurus komplek, dengan berbagai aksi, dari acara
membolos, terlambat bangun dan jama’ah. Pernah suatu saat telat bangun karena
pada malam itu aku melek bengi(terjaga), ternyata pas subuh ustadz senior yang
bernama lengkap Slamet Sofyan, membangunkan para santri dengan membawa gayung
berisi air penuh,bak menyirami tanaman di ground house saja, ustadz senior ini
menyiramkannya terhadapku, segeer…ya tetapi rasa pekewuh(malu) begitu menjelma
dalam ingatanku. Semenjak itulah aku selalu bangun sebelum beliau
ngoprak-ngoprak(membangunkan, menyuruh berangkat jama’ah) walau terkadang aku
berpura-pura duduk bersila dengan mata merem melek..hehe.
Akhirnya
usailah pertandingan sepak bola ala santri, diikuti catatan diaryku yang penuh
rasa dalam senja ini, ku tulis jelas “ kehidupan ini bagai bola dalam bawaan
pribadi masing-masing, semakin tangguh-rapuh pembawanya, semakin nyata pula apa
yang diharapkan dan tidaknya”. Aku bergegas hendak ke komplek bersiap
membuka telinga lebar, hati yang semoga dilapangkan, Al…terdengar suara ustadz
Slamet menyapaku, memberi kode etik…siap komandan!(dalam hatiku,hehe). Seperti
biasanya ustadz senior yang tak asing
ini selalu mengajakku makan, ngopi dan duduk bersama. Ini memang berawal dari
pengajian kitab Safinatun An Najah, seusai
pengajian kitab tersebut, aku pun masuk kamar ustman bin ‘affan. teman baikku
asep menghampiriku kemudian menyampaiakan pesan bahwa ustadz slamet
mengundangku untuk ke gubuknya. Dengan bertanya besar aku mendatangi gubuk
tercintanya, ternyata ustadz slamet telah menyediakan makananan untuk disantap
bersama, dan semenjak itulah hingga akhir beliau disini aku tetap jadi santri
dekatnya. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang harus aku sampaikan kepada ustadz
yang satu ini, termasuk kedekatanku juga dipertanyakan teman-temanku, namun aku
urung untuk bertanya. Sebab, aku percaya pertanyaanku lebih indah terjawab
seiring dengan realita yang aku hadapi, itulah jawabannya..!! seusai makan dan
bercanda riang di gubuk beserta para abdi dalem , aku pamit untuk segera
bersiap-siap jama’ah shalat maghrib, seperti biasa suara lantang pengurus
komplek mengumandangkan kata ampuhnya “waktu tinggal 10 menit, yang terlambat
dicekrik(potong rambutnya)”
***
Disini, dalam ketersendirianku,
menatap atap-atap kerapuhan, kesunyian melanda, berbagai persepsi
tercipta, ada bayang-bayang nyata menghampiri ketersendirianku, entah aku
sedang berada dimana, di gurun yang tak
kunjung menemukan oase-kah? Menutupi kerapuhan yang sejatinya memerlukan
pelepas dahaga-kah? Terlalu angkuh-kah? jika haus tak pernah mencari air, jika
sakit tak pernah mencari tabib(dokter),jika lapar tak pernah mencari makan? Ada
entah berapa partikel yang saling berkait dalam diri setiap manusia, yang
menyebabkan sebab-akibat menjadi penentu partikel tersebut. Siapa sebenarnya
penciptanya? Bukankah lebih memegang kendali dengan wujud kekuasaan? Meski,
banyak dari keterwujudanNya selalu adigang, adigung dan adiguna. Meski banyak
kekuasaanNya itu di nilai seperti biji sawi, dan mengaku sebagai bagian dari
kepemilikan kekuasaan? Aneh, ketidakmilikan yang dititipkan sering membuat
perebutan kekuasaan fana, apakah itu bias dari dua sinar yang berlawanan?
Hingga malah menjadi fatamorgana.
Sadar, ketersendirianku menyebabkan
aku berdiskusi ria dengan batinku, entah berapa lama yang jelas aku ingin
melanjutkan dengan muroqobah(kontak batin dengan wali mursyid tarekat). Ku
awali dengan memejamkan mata jasadku, bahwa memejamkan adalah menghindari tegur
sapa dengan ketidakmanfaatan, ketidakjelasan mata jasad dalam setiap berkedip.
Hanya dalam keadaan mata jasad tertutup, manusia pilihan yang intiqal(berpindah
alam) dikatakan khusnul khatimah, manusia mampu berkomunikasi dengan
batinnya(hati). Setiap hela nafas yang menderu ialah awal dari langkahku
memejamkan mata jasadku, menyelusuri lorong hitam berkabut putih tebal yang
kadang membuat terombang-ambing dengan pernyataan titik temu yang sering
dinisbatkan dengan kata kebenaran. Aku sering tertipu daya akan kenikmatan dalam
tertutupnya mata jasad, padahal kenikmatan yang suka menipu lagi melalaikan
adalah cobaan. Sayang, rupa,warna dan bentuk acapkali membuat terlalu unggul
diri, terpedaya sehingga terhenti langkah-langkah selanjutnya. Setelah kulewati
kabut putih tebal, Nampak banyak jiwa berbaris rapi, berjubah putih,
bersyibhah(di tangannya memegang tasbih), melafalkan hadroh
kamilah(baca;syair-syair). Menanti kedatangan sang guru, suara redam melihat
sosok tersebut, dengan jalan wibawanya, senyum berkembang disetiap kedip mata,
sungguh, aku merindukkan sosok yang selalu tenang dalam keadaan apapun, beliau
sedikit pun tak mempunyai wajah yang berkerut-cemberut, tahu akan bedanya
bukan? Wajah periang terlihat segar untuk dipandang, sedang wajah sayu
terlihat?....beliau berdiri tanpa mimbar, meski beliau berderajat,
mengisyarahkan untuk melingkar. Aku yakin betul, ini berkaitan dengan teori
titik(nuqtah), kebetulan Aku sendiri mendapatkan undangan yang berbentuk lingkaran, dengan hiasan angka
nol (0) di atasnya, yang bertuliskan, "Keterwujudan dari kehampaan,
kehampaan dari ketiadaan, ketiadaan dari kegaiban, kegaiban dari
ketakterhinggaan, dan ketakterhinggaan dari cinta keabadian". Ketika
kubaca dengan seksama, kata demi kata, yang terukir indah di dalam tulisan
tersebut, tiba-tiba saja, sang guru yang merangkai undangan itu untukku,
bertanya kepadaku, "Tahukah kamu, dari manakah asal-usul huruf-hurufku
ini?". Aku hanya terdiam mendengar pertanyaannya. "Huruf itu berasal
dari kumpulan garis, garis berasal dari titik yang diperpanjang, titik berasal
dari nuqt}ah hitam. Dengan demikian, maka deret angka berasal dari angka
sebelumnya, dan angka sebelumnya berasal dari angka nol (0). Oleh karena itu,
maka nuqt}ah atau titik hitam, identik dengan angka nol (0). Nol (0)
adalah titik nuqt}ah, dan titik nuqt}ah adalah nol (0)".
Karena huruf tersebut masih penasaran dengan jawaban, kembali bertanya, "Bagaimanakah caranya
menunjukkan keidentikkan, antara titik nuqt}ah dengan angka nol
(0)?". Jawab beliau , "Jika angka 10 (sepuluh) Latin ditulis dengan
angka 1 dan 0, maka angka 1. (sepuluh) Arab ditulis dengan angka 1 dan .
(titik). Dengan demikian, jika 1 sama dengan 1, maka nol (0) sama dengan titik
(.) atau nuqt}ah". "Jika sebuah nama terangkai dari
beberapa kata, dan kata terangkai oleh beberapa garis, dan garis terangkai oleh
kumpulan beberapa titik, dan titik terangkai oleh kumpulan titik-titik nuqt}ah
yang lebih kecil, maka dapat disimpulkan, tidak akan ada sebuah nama, jika
tanpa adanya titik nuqt}ah!". "Ya", jawabku.
"Siapakah yang mendahului nama, yang terangkai oleh beberapa kata tersebut?".
Jawabnya, "Yang mendahului nama, adalah zat atau benda yang diberi nama.
Misalnya begini, Anda tidak bisa menyebut sebuah benda itu dengan nama angin,
jika zat angin-nya tidak pernah terwujud. Anda tidak bisa menyebut benda itu
dengan nol, jika zat bendanya (0) tidak pernah terwujud". "Apakah
sama, antara nama dengan zat bendanya?". Jawabku, "Apakah sama,
antara tulisan spidol yang tertulis di depan papan tulis, dengan benda
spidolnya, yang tersimpan di belakang papan tulis?. Apakah sama, antara tulisan
Allah yang tertulis di papan surat cinta, dengan zat-Nya, yang
tersembunyi di balik hijab kegaiban mutlak-Nya?". "Tidak sama",
jawabnya. Lanjut beliau, "Oleh karena itu, antara nama dengan zatnya
berbeda".
Setelah melingkar,
mendekap segala rasa asa yang dibawa, kini seolah hancur lebur tak tersisa
memandang wajah indah ciptaan-Nya, itulah mahabbah, sebesar dan sekecil apa
bukanlah ukuran ketenangan dan kenyamanan menikmati keindahan. Berbeda dengan
orang yang sudah mampu benar mahabbah, ia suka rela melepaskan apa pun demi
mendapat cinta dari Sang Pemilik Cinta. Bahwa jalan berliku, menanjak, lurus
berlubang hanya uji coba yang suka diseriuskan melebihi keterbatasan makhluk.
Sang guru pun bersabda : Kekasihku tidak bisa
membaca dengan mata kepala, tetapi ia bisa melihat dengan mata hati. Kekasihku
tidak bisa menulis dengan tangan, tetapi sentuhannya menuliskan kedamaian.
Kekasihku adalah cinta pertama, sehingga dialah asal semua cinta.
Bersambung.......
.
0 komentar:
Posting Komentar