Senja ini, kutatap rerimbunan daun berjatuhan, terhempas
angin hebat yang sesekali menggoda. Laksana para darwis yang menari-menari mengekspresikan dzikir jawarihnya,
burung-burung walet bertebaran terbang
menggerombol mencari sarangnya, hati yang terkadang kalah dengan nafsunya.
Sudah lama aku duduk termenung diatap-atap rumah dengan ketidakpastian yang
melengkapi hidup, berharap lebih dengan kunjungan sedikit jawabannya, berkaca
mata melihat realita, tangis-tawa adalah bagian ekspresi menentramkan jiwa yang begitu rapuh
ini, dihampiri beribu-ribu dosa tentang luka-duka terhadap manusia. Sekian
banyak sudah persakitan yang menyebabkan luka-duka ini terjadi, tentang cinta
alif ba ta tsa yang terbata-bata, menghampiri ribuan kenangan memori senja.
Ratapan-ratapan senja apalagi yang harus aku lakukan? Demi menghilangkan
kabar-kabar ketidakpastian ini..?? kabar yang menggetarkan hati, menutup rapat
lisan, dengan mata bertutur duduk di persimpuhan. Bukan aku tidak percaya
dengan penjelasan-penjelasan, akan tetapi aku merasa tidak berdaya dengan
kenyataan yang sekarang menghilangkan sadarku. Kau tahu bukan? Dipelataran
sudut rumah hatiku sambutan senyum sapamu
adalah bagian penting dari penulisan sajak-sajak hidupku, berlebihankah
aku? Bagi siapa pun jika diiringi dengan senja yang penuh dengan renungan,
tentu merasakannya, bukan janji-janji pagi yang penuh gairah namun lupa senja.
***
Bel berbunyi tiga kali, mengisyaratkan anak-anak untuk
segera berkumpul di halaman sekolah MA, halaman sekolah kami begitu sempit
membentuk letter “L” sebab mengelilingi
GOR yang dalam kiprahnya bukan lagi sebagai tempat olahraga, melainkan tempat
menunaikan segala rutinitas yang menjadi kewajiban anak pesantren “Shalat
jama’ah dan mengaji”. Aku dan kawan-kawan sudah tahu bahwa hari ini ada orasi pemilihan ketua osis besar-besaran
dari pemilik masing-masing kubu pendukung, adu gengsi sepertinya nampak jelas
dipermukaan, tidak jarang mereka beradu suara lantang mengejek antar jurusan.
Sebenarnya, tindakan eja-mengejek sudah menjadi kebiasaan para pendahulu kami,
maklumlah dari kelas satu kami sudah harus menentukan jurusan, selain itu juga
bentuk kasih guru terhadap jurusan yang biasa-biasa saja yang dianggap santai
tersamarkan dan dipusatkan untuk kelas unggulan. Ada tiga calon siap
melontarkan amunisi-amunisi kata indah, tentu Ali Ibrahim maju terlebih dahulu dari mereka, jelas karena dia memang ketua osis yang akan segera
tergantikan, dengan sambutan yang meriah melontarkan kata-kata yang ia ambil
dari gadis berwajah senja itu “ Kita
benar-benar tidak akan pernah tahu, jika hanya lisan saja yang bergerak hebat
dibandingkan tindakan . berdirilah tegak lurus dengan langit itulah cerminan
manusia(manut kasajatining rasa; mengikuti kehendak hati nurani). Dibalik
jendela kaca lantai satu kelas XI IPA,
ada tatapan yg begitu sejuk, senyum
mengemban melukiskan kebahagiaan, entah karena apa ia tiba-tiba tertunduk
membisu, membuka catatan hariannya. dia tidak suka berlebihan mengemban rasa,
begitu peka dan tegas dalam bertindak. Ali menyadari dari awal ada tatapan yang
mempunyai arti lebih baginya, dibanding tatapan ribuan lainnya yang simpang
siur tidak jelas kemana. Posisi dia berdiri disamping kelas tatapan penuh
arti tersebut, karena kelas tersebut
berada disebelah barat pas tempat pusat
panggung orasi diadakan. Segeralah ia
menyelesaikan sambutannya, untuk mempersingkat waktu dalam orasi.
***
Dalam diamku, bersitatap dengan
senja, iya aku bertemu dengannya di senja tahun ketiga sebelum ini, tepat
bertambahnya umurku aku bersitegang dengan gadis berwajah senja itu, penuh
dengan renungan tidak berlebihan kirannya. Waktu itu secara tidak sengaja aku
sedang melintasi masjid, diterasnya aku lihat dia sendiri, menulis apa
entahlah. Aku lewatkan hariku tanpa adanya rasa, namun tidak tahukah? Kebiasaan
dia di senja menulis apa entahlah itu aku tidak tahu tetap dijalani di teras
masjid. Hingga suatu saat, aku memberanikan diri menulis surat berisikan
rangkaian kata-kata yang aku sendiri tidak tahu apa tujuannya. Apakah aku
melibatkan perasaan karena kebiasaanku menatap sekilas gadis berwajah senja
itu?entahlah….yang jelas bagai orang kesurupan saja secara mudah merangkai
kata-kata mungkin bisa disebut bernuansa perkenalan. Aku sendiri tidak pernah
tahu, bagaimana berkenalan yang baik-baik, karena semenjak Sekolah Dasar
tiba-tiba saja teman kelas mengenalku. Oh..Ibu ini anakmu pertama kalinya ingin
berkenalan dengan gadis berwajah senja itu. Terkirimlah surat perdanaku lewat
saudaranya yang kebetulan satu asrama denganku, berlabel pemuja rahasia selama
40 hari surat itu terhitung sepuluh ditangannya, entah d ia muak atau dibakar
habis-habisan surat kecilku itu. Entah terbalaskan atau tidak surat-suratku.
Aku hanya bisa menunggu, tanpa berharap lebih yang hanya menimbulkan kekecewaan
yang dalam. Senja ini pun aku tulis sajak-sajak ketidakhdiran burung-burung wallet yang mencari sarangnya, entah ini
ratapan apa yang aku puja-puji, mungkin
langit telah memberi penjelasan dengan sederhana, namun aku tidak mampu
membahasakannya. Karena buta terhadap dunia yang bersarang di hati, sudah
jelas-jelas guru sejatiku al warasatul anbiya membahasakan dunia dan seisinya
dibawah telapak tangan, bukan di hati!. Ya hati suka qollaba, berbolak-balik
dengan temperatur yang didapatnya. Entah apa itu, ia lebih peka, ruang dan
dimensi waktu tidak terbatas (mutlak) seperti halnya kita (berimajinasi )sedang
berada di mekkah mencium hajar aswad. Apakah kita harus kesana? Bukankah tidak,
cukup hatimu-lah sebagai pengendali anggota tubuh. Itulah yang aku bingungkan
sekarang, apakah ini murni hati? Ataukan
perasaan yang dibalut dengan nafsu?.
Senja ini, lagi-lagi ku tatap
dengan seksama, melihat sepasang burung gereja saling berkejaran di kabel tiang
listrik, apa mereka tidak lelah…? Memadu kasih dengan terbang kemudian hinggap
terbang kembali? Sunggguh aku diantara ketidak tahuan, berselimut entah apa ini
namanya, mungkin rindu..ya kerinduan seperti di penghujung jalan, mentok tiada
tara. Duduk bersila mencari ketenangan yaa daayimu, yaa daayimu. Entah berapa
kali aku melafalkannya, hingga mata terkatup-katup, disaat acara selanjutnya
yaitu tidur, aku dikejutkan dengan kabar yang menurutku bagian dari kabar
langit yang begitu merdu didengarnya. Hmm…. Pemberi kabar ini tentu agen
rahasia FBI atau kasarnya tukang posku ya saudaranya dia gadis berwajah senja
itu. Kabar yang tertulis aku diundang rapat dalam kepanitian acara Maulid Nabi,
artinya aku sudah pasti bertemu langsung denganya tanpa harus dari kejauhan yang di ukur
ratusan meter. Oh…Ibu anakmu ini akan segera bertemu dengan gadis berwajah senja itu, rasanya aku ingin
berteriak di kamarku di lantai 3, tetapi apalah artinya teriakan suara
patah-patahku. Hanya akan menyimpan luka-duka jika tidak berujung.
Esoknya, bergegas ku tata rapi
hati dan mataku, agar tidak buta dengan hari ini…
Bersambung……
0 komentar:
Posting Komentar