menemukan-Mu dalam bait-bait diriku

Jumat, 22 November 2013

Sketsa Senja I

             Senja ini, kutatap rerimbunan daun berjatuhan, terhempas angin hebat yang sesekali menggoda. Laksana para darwis yang menari-menari  mengekspresikan dzikir jawarihnya, burung-burung walet  bertebaran terbang menggerombol mencari sarangnya, hati yang terkadang kalah dengan nafsunya. Sudah lama aku duduk termenung diatap-atap rumah dengan ketidakpastian yang melengkapi hidup, berharap lebih dengan kunjungan sedikit jawabannya, berkaca mata melihat realita, tangis-tawa adalah bagian  ekspresi menentramkan jiwa yang begitu rapuh ini, dihampiri beribu-ribu dosa tentang luka-duka terhadap manusia. Sekian banyak sudah persakitan yang menyebabkan luka-duka ini terjadi, tentang cinta alif ba ta tsa yang terbata-bata, menghampiri ribuan kenangan memori senja. Ratapan-ratapan senja apalagi yang harus aku lakukan? Demi menghilangkan kabar-kabar ketidakpastian ini..?? kabar yang menggetarkan hati, menutup rapat lisan, dengan mata bertutur duduk di persimpuhan. Bukan aku tidak percaya dengan penjelasan-penjelasan, akan tetapi aku merasa tidak berdaya dengan kenyataan yang sekarang menghilangkan sadarku. Kau tahu bukan? Dipelataran sudut rumah hatiku sambutan senyum sapamu  adalah bagian penting dari penulisan sajak-sajak hidupku, berlebihankah aku? Bagi siapa pun jika diiringi dengan senja yang penuh dengan renungan, tentu merasakannya, bukan janji-janji pagi yang penuh gairah namun lupa senja.
                                                                                                ***
Bel berbunyi  tiga kali, mengisyaratkan anak-anak untuk segera berkumpul di halaman sekolah MA, halaman sekolah kami begitu sempit membentuk letter  “L” sebab mengelilingi GOR yang dalam kiprahnya bukan lagi sebagai tempat olahraga, melainkan tempat menunaikan segala rutinitas yang menjadi kewajiban anak pesantren “Shalat jama’ah dan mengaji”. Aku dan kawan-kawan sudah tahu bahwa hari ini  ada orasi pemilihan ketua osis besar-besaran dari pemilik masing-masing kubu pendukung, adu gengsi sepertinya nampak jelas dipermukaan, tidak jarang mereka beradu suara lantang mengejek antar jurusan. Sebenarnya, tindakan eja-mengejek sudah menjadi kebiasaan para pendahulu kami, maklumlah dari kelas satu kami sudah harus menentukan jurusan, selain itu juga bentuk kasih guru terhadap jurusan yang biasa-biasa saja yang dianggap santai tersamarkan dan dipusatkan untuk kelas unggulan. Ada tiga calon siap melontarkan amunisi-amunisi kata indah, tentu Ali Ibrahim  maju terlebih dahulu dari mereka, jelas  karena dia memang ketua osis yang akan segera tergantikan, dengan sambutan yang meriah melontarkan kata-kata yang ia ambil dari gadis berwajah senja  itu “ Kita benar-benar tidak akan pernah tahu, jika hanya lisan saja yang bergerak hebat dibandingkan tindakan . berdirilah tegak lurus dengan langit itulah cerminan manusia(manut kasajatining rasa; mengikuti kehendak hati nurani). Dibalik jendela kaca lantai satu kelas XI  IPA, ada  tatapan yg begitu sejuk, senyum mengemban melukiskan kebahagiaan, entah karena apa ia tiba-tiba tertunduk membisu, membuka catatan hariannya. dia tidak suka berlebihan mengemban rasa, begitu peka dan tegas dalam bertindak. Ali menyadari dari awal ada tatapan yang mempunyai arti lebih baginya, dibanding tatapan ribuan lainnya yang simpang siur tidak jelas kemana. Posisi dia berdiri disamping kelas tatapan penuh arti  tersebut, karena kelas tersebut berada disebelah barat pas tempat  pusat panggung orasi diadakan.  Segeralah ia menyelesaikan sambutannya, untuk mempersingkat waktu dalam  orasi.

***
Dalam diamku, bersitatap dengan senja, iya aku bertemu dengannya di senja tahun ketiga sebelum ini, tepat bertambahnya umurku aku bersitegang dengan gadis berwajah senja itu, penuh dengan renungan tidak berlebihan kirannya. Waktu itu secara tidak sengaja aku sedang melintasi masjid, diterasnya aku lihat dia sendiri, menulis apa entahlah. Aku lewatkan hariku tanpa adanya rasa, namun tidak tahukah? Kebiasaan dia di senja menulis apa entahlah itu aku tidak tahu tetap dijalani di teras masjid. Hingga suatu saat, aku memberanikan diri menulis surat berisikan rangkaian kata-kata yang aku sendiri tidak tahu apa tujuannya. Apakah aku melibatkan perasaan karena kebiasaanku menatap sekilas gadis berwajah senja itu?entahlah….yang jelas bagai orang kesurupan saja secara mudah merangkai kata-kata mungkin bisa disebut bernuansa perkenalan. Aku sendiri tidak pernah tahu, bagaimana berkenalan yang baik-baik, karena semenjak Sekolah Dasar tiba-tiba saja teman kelas mengenalku. Oh..Ibu ini anakmu pertama kalinya ingin berkenalan dengan gadis berwajah senja itu. Terkirimlah surat perdanaku lewat saudaranya yang kebetulan satu asrama denganku, berlabel pemuja rahasia selama 40 hari surat itu terhitung sepuluh ditangannya, entah d ia muak atau dibakar habis-habisan surat kecilku itu. Entah terbalaskan atau tidak surat-suratku. Aku hanya bisa menunggu, tanpa berharap lebih yang hanya menimbulkan kekecewaan yang dalam. Senja ini pun aku tulis sajak-sajak ketidakhdiran burung-burung  wallet yang mencari sarangnya, entah ini ratapan apa yang aku puja-puji,  mungkin langit telah memberi penjelasan dengan sederhana, namun aku tidak mampu membahasakannya. Karena buta terhadap dunia yang bersarang di hati, sudah jelas-jelas guru sejatiku al warasatul anbiya membahasakan dunia dan seisinya dibawah telapak tangan, bukan di hati!. Ya hati suka qollaba, berbolak-balik dengan temperatur yang didapatnya. Entah apa itu, ia lebih peka, ruang dan dimensi waktu tidak terbatas (mutlak) seperti halnya kita (berimajinasi )sedang berada di mekkah mencium hajar aswad. Apakah kita harus kesana? Bukankah tidak, cukup hatimu-lah sebagai pengendali anggota tubuh. Itulah yang aku bingungkan sekarang, apakah ini murni  hati? Ataukan perasaan yang dibalut dengan nafsu?.
Senja ini, lagi-lagi ku tatap dengan seksama, melihat sepasang burung gereja saling berkejaran di kabel tiang listrik, apa mereka tidak lelah…? Memadu kasih dengan terbang kemudian hinggap terbang kembali? Sunggguh aku diantara ketidak tahuan, berselimut entah apa ini namanya, mungkin rindu..ya kerinduan seperti di penghujung jalan, mentok tiada tara. Duduk bersila mencari ketenangan yaa daayimu, yaa daayimu. Entah berapa kali aku melafalkannya, hingga mata terkatup-katup, disaat acara selanjutnya yaitu tidur, aku dikejutkan dengan kabar yang menurutku bagian dari kabar langit yang begitu merdu didengarnya. Hmm…. Pemberi kabar ini tentu agen rahasia FBI atau kasarnya tukang posku ya saudaranya dia gadis berwajah senja itu. Kabar yang tertulis aku diundang rapat dalam kepanitian acara Maulid Nabi, artinya aku sudah pasti bertemu langsung denganya  tanpa harus dari kejauhan yang di ukur ratusan meter. Oh…Ibu anakmu ini akan segera bertemu dengan gadis  berwajah senja itu, rasanya aku ingin berteriak di kamarku di lantai 3, tetapi apalah artinya teriakan suara patah-patahku. Hanya akan menyimpan luka-duka jika tidak berujung.

Esoknya, bergegas ku tata rapi hati dan mataku, agar tidak buta dengan hari ini…
Bersambung……
Share:

0 komentar:

Blogger templates