menemukan-Mu dalam bait-bait diriku

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 25 November 2013

Sultan dan Sufi

Alkisah, seorang Sultan sedang berparade di jalan-jalan utama kota Istanbul, dengan dikelilingi para pengawal dan tentaranya. Seluruh penduduk kota datang untuk melihat sang Sultan. Semua orang memberikan hormat ketika Sultan lewat, kecuali seorang darwis yang amat sederhana.
Sang Sultan segera menghentikan paradenya dan menyuruh tentaranya untuk membawa darwis itu menghadap. Ia menuntut penjelasan mengapa darwis itu tak memberikan penghormatan kepadanya ketika ia lewat.

Darwis itu menjawab, "Biarlah semua orang ini menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan apa yang ada padamu; harta, kedudukan, dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal ini tak berarti bagiku. Lagipula, untuk apa saya menghormat kepadamu apabila saya punya dua budak yang merupakan tuan-tuanmu?"

Semua orang di sekelilingnya ternganga. Wajah sang Sultan memerah karena marah. "Apa maksudmu?" bentaknya.

"Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan," ujar darwis itu tenang seraya menatap kembali kedua mata Sultan. Sultan itu pun tersadar akan kebenaran ucapan orang itu dan ia balik menghormat sang darwis.
Share:

Sabtu, 23 November 2013

ke AKUAN sebagai HIJAB DIRI

Abu Zhulmi adalah seorang guru sufi yang tergabung dalam persaudaraan para sufi di kota Bistam. Ia memiliki banyak pengikut. Ia beserta teman-temannya dengan khusyuk selalu mengikuti ceramah yang disampaikan Abu Yazid Al-Bistami. 
            Tercekam oleh paparan Abu Yazid tentang ma’rifat, suatu hari Abu Zhulmi menemui Abu Yazid dan berkata,”Wahai guru, hari ini genap 30 tahun aku berpuasa. Setiap malam aku tidak pernah tidur karena shalat tak terputus. Tetapi, guru, aku belum menemukan diriku untuk bisa mencapai ma’rifat yang engkau sampaikan itu. Padahal, untuk mencapai ma’rifat, aku telah bertahun-tahun setia mengikuti ceramah-ceramah yang engkau sampaikan.”
            Abu Yazid menyahut,”Sekalipun tujuh puluh tahun lagi engkau berpuasa dan shalat sepanjang malam, engkau tidak akan pernah memahami sedikit pun pelajaran yang aku sampaikan.”
            “Mengapa demikian, guru?” tanya Abu Zhulmi.
            “Karena engkau terhijab oleh dirimu sendiri,” sahut Abu Yazid.
            “Adakah cara yang bisa kuperoleh untuk membuka hijab itu?” tanya Abu Zhulmi.
            “Engkau tidak akan pernah mendapatkannya,” jawab Abu Yazid.
            “Aku akan bisa mendapatkannya,” sahut Abu Zhulmi bersemangat,”Asalkan engkau memberitahu aku bagaimana aku mencarinya.”
           “Baiklah,” sahut Abu Yazid,”Sekarang juga pergi dan cukurlah rambut dan janggutmu. Lepas pakaian yang kau kenakan. Ganti dengan pakaian dari bahan karung sebatas pinggangmu. Gantung sebuah tas berisi biji kenari di lehermu lalu pergilah ke pasar. Kumpulkan anak-anak dan katakan kepada mereka “aku akan memberi biji kenari kepada siapa saja yang menampar kepalaku. Berkelilinglah engkau ke segenap penjuru kota untuk melakukan hal yang sama, terutama di tempat-tempat orang yang mengenalmu. Itulah caramu menemukan pembuka hijab dirimu.”
          “Allahu Akbar, semua kebesaran milik Allah! Laailaha ilallah,” seru Abu Zhulmi setelah mendengar penjelasan Abu Yazid.
             “Ketahuilah, andaikata orang kafir mengucapkan kata-kata yang baru saja engkau ucapkan, dia pasti menjadi seorang yang beriman,” sahut Abu Yazid menyahuti,”Tetapi dengan mengucapkan kata-kata itu, engkau justru telah menjadi orang musyrik.”
             “Mengapa begitu, guru?” sergah Abu Zhulmi memprotes.
             “Karena engkau telah menganggap dirimu sendiri terlalu mulia untuk sanggup melaksanakan kata-kataku,” kata Abu Yazid menjelaskan,”Karena itu, engkau menjadi musyrik. Engkau ucapkan kata-katamu itu untuk mengungkapkan kepentinganmu sendiri, dan sekali-kali bukan untuk dan demi mengagungkan Allah.”
           “Terus terang, aku tidak sanggup menjalankan hal itu,” kata Abu Zhulmi mengajukan usulan,”Berikan aku syarat yang lain saja.”
            “Syarat termudah adalah apa yang telah aku sebutkan tadi,” sahut Abu Yazid.
             “Aku tidak dapat melaksanakannya,” sahut Abu Zhulmi dengan nada tinggi.
              “Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan pernah mendapatkan cara membuka hijab, karena engkau terhijab oleh ke-aku-anmu sendiri,” ujar Abu Yazid Al-Bistami pergi meninggalkan Abu Zhulmi yang bersungut-sungut hatinya diliputi kedongkolan.
                                                                                         * * *
              Setelah meninggalkan jabatan guru besar di Universitas Nizhamiyyah Baghdad, Al-Ghazaly berguru kepada seorang sufi yang menutupi jati diri sebagai seorang pen jahit pakaian. Pelajaran pertama yang diberikan sufi penjahit kepada Al-Ghazaly adalah perintah ‘membersihkan pasar’ sampai sebersih-bersihnya.
               Sebagai seorang guru besar yang termasyhur dan dihormati di kampus maupun di dunia Islam yang mendapat gelar kebesaran Hujatul Islam, Al-Ghazaly sangat tertekan menjalankan pelajaran pertama yang tidak masuk akal itu. Tapi kepatuhan membuatnya dengan terpaksa menyapu pasar sewaktu kegiatan pasar telah selesai. Itupun Al-Ghazaly menutupi diri dari kepala sampai kaki dengan mengenakan jubah berkerudung dan wajah ditutupi cadar.
               Setelah merasa bahwa pasar yang disapunya telah bersih, Al-Ghazaly menghadap sufi penjahit dan melaporkan hasil kerjanya. Tapi dengan isyarat sufi penjahit berkata,”Belum bersih. Harus diulangi lagi sampai bersih.”
               Esok hari, Al-Ghazaly mengulangi lagi pekerjaannya sampai sore hari dengan tidak meninggalkan sekeping pun bekas sampah di pasar. Namun saat menghadap sufi penjahit, lagi-lagi dijawab bahwa pasar belum lagi bersih. Lalu dengan bahasa isyarat, sufi penjahit memberitahu bahwa yang dimaksud ‘pasar’ dalam perintahnya itu adalah ‘pasar’ di dalam diri.
               Sadar bahwa yang dimaksud sufi penjahit adalah sebuah usaha ‘pembersihan diri’, Al-Ghazaly esok hari kembali ke pasar dengan pakaian biasa tanpa penutup kepala dan tanpa cadar. Tak perduli dilihat orang-orang yang terheran-heran, Al-Ghazaly menyapu pasar sambil membaca khasidah pepujian kepada Nabi Muhammad Saw. Lalu orang-orang berkerumun, membicarakan sang guru besar yang secara tiba-tiba telah menjadi orang gila. Setiap orang yang melihat Al-Ghazaly menyapu pasar dan mengumpulkan sampah ke dalam keranjang, menyatakan iba hati dan bahkan ada yang menangis dengan nasib malang Hujatul Islam tersebut.
                  Sore hari setelah pasar sepi, Al-Ghazaly menghadap sufi penjahit dan melaporkan apa yang sudah dilakukannya sepanjang siang itu. Sufi penjahit menyambut gembira dan menyatakan bahwa Al-Ghazaly telah lulus pelajaran itu. Al-Ghazaly kemudian meneruskan pelajaran lanjutan dengan pergi ke Damaskus untuk iktikaf di menara masjid selama empatpuluh hari yang membawanya kepada ma’rifat dan memasukkannya ke dalam jajaran wali-wali Allah. Demikianlah, pelajaran ‘membersihkan diri’ berhasil dilewati Al-Ghazaly dengan gemilang yang membawanya kepada ma’rifat, tetapi sebaliknya tidak berhasil dilewati oleh Abu Zhulmi yang mengaku murid Abu Yazid Al-Bistami.
                                                                                 * * *
               Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi yang bersekolah selama 35 tahun dan kemudian mengajar di kampus selama delapan tahun, memperoleh gelar guru besar. Dalam pengukuhan guru besar, semua orang terkagum-kagum dengan tokoh yang memiliki nama lengkap Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum itu. Pak Professor Ali tidak bisa menghitung berapa jumlah biaya yang sudah dikeluarkan orang tua maupun atas hasil usahanya sendiri selama menuntut ilmu di sekolah. Beliau juga tidak bisa menghitung betapa berat dan lamanya waktu yang telah digunakannya untuk memperoleh seperangkat gelar yang menempatkannya di puncak piramida kaum terdidik itu. Yang pasti, pak professor telah menjadi manusia berkedudukan tinggi jauh di atas dosen-dosen biasa apalagi dengan kedudukan karyawan-karyawan kampus seperti petugas absensi, satpam, tukang parkir, petugas kebersihan yang tidak punya gelar.
             Ketika memasuki usia pensiun, Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum menghadap Guru Sufi minta agar diajari cara singkat untuk mencapai ma’rifat. Sebab sebagai ilmuwan dengan sederet gelar, Pak Professor Ali merasa akan mudah menjalani laku tasawuf yang dianggapnya sangat sederhana. Namun saat Guru Sufi memberitahu bahwa syarat utama yang wajib dipenuhi oleh orang seorang untuk memulai laku tasawuf adalah melepaskan ‘ke-aku-an’ dari diri sendiri sampai orang seorang menjadi ‘manusia’ berkedudukan ‘bayi’ yang tidak mengenal perbedaan ke-aku-an manusia satu dengan manusia yang lain dalam kedudukan kemasyarakatan, Pak Professor Ali mengerutkan kening dan kemudian bertanya,”Apakah Pak Kyai nanti akan meminta saya mengaji bareng-bareng dengan orang-orang awam dari kampung?”
             “Bukan hanya itu, professor,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bapak professor  harus menjalankan suluk bersama-sama dengan satpam, tukang parkir, petugas kebersihan dari kampus bapak yang menjalani laku suluk di sini.”
           “Apa?” sahut Professor Ali terkejut,”Bagaimana mungkin itu bisa saya jalankan?”
            Guru Sufi mengangkat bahu  sambil menggumam,”Itu memang prasyarat awal kalau mau memasuki dunia sufi. Bagi orang yang ke-aku-an dirinya sudah sangat berkuasa karena diselubungi gelar-gelar kebesaran duniawi, silahkan mempelajari ilmu pengetahuan yang lain selain tasawuf.”
           Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum dengan bersungut-sungut meninggalkan pesantren sufi. Ia tahu pasti, bahwa prasyarat yang diajukan Guru Sufi tidaklah mungkin bisa dipenuhinya. Bagaimana mungkin, kemuliaan dan kehormatan diri yang telah diperolehnya dengan susah-payah selama berpuluh-puluh tahun itu akan dibuang begitu saja untuk sekedar mengikuti ilmu pengetahuan aneh yang mansyaratkan kefakiran sebagai landasan utamanya. Jika aku menjalani laku seperti petunjuk  Abu Yazid Al-Bistami atau Al-Ghazaly dengan melakukan tindakan konyol, kata Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum dalam hati, apa kata dunia nanti?

Share:

Hijrah Dari Ke-AKU-an

Pengajian 10 Ramadhan, tahun 545 H. di Madrasahnya
Orang beriman adalah orang yang hijrah dari dirinya, belajar kepada seorang guru yang mendidik dan mengajarinya mulai dari kecil hingga mati. Sang qari’ adalah orang yangmenghafal Al-Qur’an, dan pada pertengahannya ia mengenal pengetahuan tentang tradisi atau Sunnah Rasulullah Saw, maka saat itulah ia pasti dapat pertolongan. Ia mengamalkan ilmunya dan kokoh dengan amaliahnya hanya bagi Allah Azza wa-Jalla. Setiap ia mengamalkan ilmunya, Allah Azza wa-Jalla mewariskan pengetahuan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.

Jangan hanya duduk-duduk di atas tempat tidurmu, dengan selimutmu, dan dibalik pintumu yang tertutup, lalu anda mencari amal dan yang anda amalkan? Perhatikan hatimu dengan dzikir, dan mengingatNya di hari ketika dibangkitkan. Tafakkurlah untuk merenungi pelajaran di balik alam kubur. Renungkanlah bagaimana Allah Azza wa-Jalla menggelar semua makhlukNya dan membangkitkan mereka di hadapanNya.

Hatinya teguh pada pijakannya, keikhlasannya mendekatkan langkahnya menuju Allah Azza wa-Jalla. Bila anda mengamalkan ilmu itu, sementara anda tidak melihat hatimu mendekat kepada Allah Azza wa-Jalla, anda pun tidak merasakan indahnya ibadah, kebahagiaan dibalik ibadah, ketahuilah bahwa anda sebenarnya belum beramal ibadah. Anda terhalang karena adanya celah dibalik amal anda. Apakah celah itu? Adalah riya’, kemunafikan dan takjub pada diri sendiri.

Wahai orang yang beramal, ikhlaslah. Jika tidak, anda jangan bersusah payah. Hendaknya anda melakukan muroqobah pada Allah Azza wa-Jalla baik dalam sunyi maupun ramai. Muroqobah dalam keramaian saja itu bagi orang munafik. Namun bagi orang yang ikhlas, muroqobah baik dalam sunyi maupun ramai sama saja.

Hati-hati, jika anda melihat orang yang bersolek, lelaki maupun wanita, maka pejamkan matamu, pejamkan mata nafsumu, watak dirimu, ingatlah pandangan Allah Azza wa-Jalla kepadamu, dan bacalah: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan...” (QS Yunus: 61)

Waspadalah pada Allah azza wa-Jalla, dan pejamkan matamu untuk memandang hal yang diharamnkan, ingatlah pada Dzat Yang transparan pandanganNya dan pengetahuanNya. Bila anda tidak mewaspadai pandanganNya Azza wa-Jalla dan tidak kontra padaNya, maka sempurnalah ubudiyahmu padaNya, dan kelak anda tergolong hamba yang benar, masuk dalam kelompok yang difirmankanNya:
”Sesungguhnya hamba-hambaKu, tak ada bagimu (Iblis) kemampuan menguasai mereka.” (QS Al-Hijr: 42)

Bila syukurmu benar hanya bagi Allah Azza wa-Jalla, maka Dia mengilhami hati para makhluk dan lisannya untuk terimakasih padamu, cinta padamu. Maka disinilah syetan dan pasukannya tidak punya jalan masuk padamu. Hendaknya  anda meninggalkan doa sebagai prinsip, kalau toh sibuk berdoa itu hanyalah toleransi saja untukmu. Doa itu bagi orang yang sedang tenggelam dan yang terpenjara, tertahan, sampai ia dapat jalan keluar dan masuk ke hadapan raja.

Jadilah dirimu orang yang berakal sehat, apa yang baik bagimu dan apa yang tidak baik, ketika anda meninggalkan doa. Tak satu pun kecuali butuh niat yang benar, akal yang sehat dan  mengikuti jejak yang mengerti.

Kalian tidak menggunakan akal sehat apa yang ada disisi Allah Azza wa-Jalla dan apa yang ada di sisi hambaNya yang shaleh. Itulah yang menyebabkan kalian su’udzon (buruk sangka) pada mereka. Jangan sampai anda khawatir terhadap pangkal agamamu dan kondisimu  bersama  mereka. Jangan sampai kalian menentang aktivitas mereka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat, jangan kontra dengan mereka karena mereka ada di hadapanNya Azza wa-Jalla, lahir dan batin.

Di hatinya tidak pernah tenang dari rasa takut hingga ketenangan dan jaminan keselamatan ada padanya.

Kemarilah wahai hamba Allah Azza wa-Jalla di muka bumi, kemarilah wahai kaum zuhud, belajarlah, anda akan mengerti pengetahuan yang baik dariNya. Masuklah dalam kitabku sampai aku memberi pelajaran padamu yang tidak pernah kalian dapatkan.

Hati kita punya kitab, dan rahasia batin juga ada kitabnya. Nafsu juga ada kitabnya, anggota badan juga ada kitabnya. Semua ada derajat-derajat, maqom-maqom, pijakan-pijakan yang beragam.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany
Share:

Munajat Sufi

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

“Ketika aku di-Isro’kan ke langit, aku melihat rahim sedang tergantung di Arasy, sang rahim mengadukan pada sesama rahim kepada Tuhannya, bahwa ia telah terputus. Lalu aku bertanya, “Berapakah jarak pisah antara dirimu dengan dirinya? Rahim menjawab, “Kami bertemu dalam empat puluh jarak.”

Dalam hadits mulia ini ada disiplin mengenai kasih sayang bagi hamba, yang bisa mengendalikan liarnya nafsunya, dan ketika bertemu, ia benar-benar menjadi golongan yang saling berserasi.

Dari sebagian kaum arifin yang sampai padaku, ada munajat-munajatnya:

“Ilahi, dengan rahim (persaudaraan) kami saling bersambung, dan dengan hati kami bersibuk denganMu.”

Anak-anak sekalian! Ketahuilah bahwa para pecinta dalam menempuh jalan ubudiyah dan waktu-waktu munajat terbagai dalam berbagai level. Ada yang munajat dengan bahasa pengakuan bersalah; ada pula yang bermunajat dengan ungkapan bingung dan terdesak; ada pula yang munajat dengan bahasa kebanggan. Seandainya kalangan yang lalai mengetahui, mereka sejenak nafas pun tidak akan mengabaikan.

Nabi Saw, dalam munajatnya bersabda: "Ilahi, Bila matahati penghuni dunia sejuk dengan dunianya, maka sejukkanlah matahatiku bersamaMu.  Sejukkanlah mata hatiku dengan nikmatnya mesra bersamaMu dan rindu bertemu denganMu.”

Begitu juga pecinta selalu bermunajat: “Wahai sebaik-baik kemesraan dan yang memberi kebahagiaan. Wahai Yang sebaik-baik pendamping dan sahabat bicara. Bahagialah orang yang merasa cukup dariMu bersamaMu. Oh Tuhan, aku datang kepadaMu, aku datang kepadaMu wahai Kekasih hati. Aku datang kepadaMu wahai pelipur hati. Labbaik. .Labbaik.. Wahai harapan hati. Aku datang oh Tuhanku, mendekatMu bersamaMu hanya bersandar padaMu, hendaknya jangan Engkau palingkan diriku  bersamaMu, dariMu, dan jangan Engkau hijab diriku bersamaMu dariMu.”

Ilahi, bila Engkau memanggilku ke neraka, pasti aku penuhi panggilanMu, bagaimana tidak, sedangkan Engkau sendiri telah memanggilku menuju DiriMu?

Ilahi, bila Engkau dekatkan aku dariMu, lalu siapa lagi yang bisa menjauhkan aku? Dan bila Engkau beri kemuliaan padaKu bersamaMu, maka siapa lagi yang bisa memperendahkan diriku? Jika Engkau mengangkat derajatku kepadaMu, maka siapa lagi yang bisa merendahkanku?

Ilahi, siapakah yang aku takuti, sedangkan Engkau adalah Tuanku? Kepada siapa lagi aku berharap sedangkan Engkau adalah harapan? Kepada siapa aku bersukacita sedangkan Engkau selalu di hadapanKu? Maka bersamaMu, padaMu, hendaknyalah Engkau limpahkan kesempurnaan anugerahMu wahai Dzat Yang Sendah-indahnya Tuan, dan Seindah-indahnya Penolong.

Ilahi, rahasiaku terbuka di hadapanMu, sedangkan diriku hanya bisa mengadu kepadaMu, padahal kemahamurahanMu sudah dikenal, dan kemaha-muliaanMu menjadi sifat.

Ilahi, Engkaulah pucak kegembiraan orang-orang yang mesra kepadaMu dari para kekasihMu, dan tempat mengadunya para hampa yang Engkau pilih, dan Tempat majlis bagi para pengadu dari kalangan wali-waliMu.

Ilahi, betapa indahnya ma’rifat dalam qalbu para ‘arifin. Betapa manisnya mengingatMu pada bibir-bibir orang-orang yang berdzikir, dan betapa eloknya mencintaiMu dalam rahasia jiwa para pecinta.

Ilahi, Engkau tak pernah menggagalkan cita-cita luhur para penghasratMu, dan bagiMu tidak tersembunyi kondisi ruhani para penempuhMu, dan harapan orang-orang yang kembali kepadaMu tak pernah pupus di hadapanMu.

Ilahi, Engkaulah kebahagiaanku bila aku memandang dariMu kepadaMu. Dan Engkaulah cukupKu bila diriku berupaya meraih bersamaMu, dariMu. Sedangkan adalah kecintaanku bila aku turun dariMu bersamaMu.

Duh, Tuhan,  kasihanilah upayaku hanya menuju kepadaMu, kesendirianku bersamaMu, ketaksukaanku dari selain DiriMu. Duhai Sang Pecinta dan Tambatan kebahagiaan, wahai sebaik-baik pendamping dan tempat bicara. Jadilah buktiku darimu menujuMu.

Ilahi, jadikanlah anugerah paling agung dalam hatiku, adalah rasa malu padaMu. Jadikanlah ungkapan termanis pada ucapanku adalah memujaMu. Jadikanlah saat-saat yang paling kucintai, adalah saat-saat bertemu denganMu.

Ilahi, betapa mengerikan hati yang tidak dzikir kepadaMu. Betapa hancurnya hati yang tidak ada rasa takut kepadaMu, dan betapa sedikit kebahagiaan, yang tiada mencintaiMu.

Ilahi, tak sabar lagi jika di dunia aku tidak berdzikir kepadaMu, bagaimana aku bias sabar di akhirat nanti untuk jauh memandangMu?

Ilahi, aku mengadu betapa sendirinya diriku di negeriMu, dan betapa mengerikannya berada diantara hamba-hambaMu.

Ilahi, tak ada hasrat kehendak melainkan DiriMu, dan tak ada cita-cita utama selain Engkau, dan tak ada hajat selain DiriMu.

Ilahi, Inilah indahnya munajat, lalu bagaimana indahnya bertemu kelak?

Ilahi, inilah terimakasihku, dan terimakasihnya syukurku.

Ilahi, inilah kebahagiaanku, dan bahagiannya bahagiaku.

Ilahi, inilah rasa sayangku, dan kecintaan sayangnya sayangku.

Ilahi, bagaimana hatiku sibuk untuk mencintai selain DiriMu? Sedangkan aku sudah tidak mengenal selain mengenalMu.

Ilahi, pada siapa lagi yang layak dipuji, sedangkan Engkau adalah Tuanku? Pada siapa aku berharap, sedangkan Engkau adalah harapan daeri segala harapan. Duhai sebaik-baik yang dima’rifati dan didzikiri. Engkau terlah memuliakan diriku dengan wilayah kema’rifatanMu, maka, setelah itu janganlah Engkau hinakan aku wahai Tuanku, dengan selainMu.

Ilahi, aku heran pada orang yang mengenalMu, bagaimana ia masih butuh selain Engkau?

Ilahi, aku heran pada orang yang gembira bersamaMu, bagaimana ia masih gentar pada selain DiriMu?

Ilahi, aku heran kepada  orang yang menghendakiMu, bagaimana masih menghendaki selain DiriMu?

Ilahi, inilah kegembiraanku bersamaMu di negeri fana’, bagaimana kelak kegembiraanku di negeri Baqa’?

Ilahi, inilah kebahagiaanku bersamaMu dalam jubah khidmah, bagaimana kebahagiaanku kelak bersamaMu dalam selimut nikmat?

Ilahi, inilah kelezatan cinta, bagaimana lezatnya memandangMu?

Ilahi, inilah lezatnya kemesraan, bagaimana kelak lezatnya bertemu?

Ilahi, siapa yang tak bersukacita bersamaMu, lalu darimana lagi ada kegembiraan lain?

Ilahi, Engkau minumi aku dengan gelas cinta hingga Engkau mabukkan diriku. Cinta telah membunuhku dan rindu telah membakarku.

Ilahi, Engkau perlihatkan padaku cintaMu, perlihatkanlah wushulku…

Ilahi, betapa panjang husnudzonku bersamaMu, hendaknya jangan Engkau kembalikan aku dalam kehancuran, hingga dugaanku padaMu tidak hancur. Yang yang Dikenal bersama Yang Maha Dikenal.

Ilahi, aku tidak sabar lagi untuk bertemu, dan padaMu tak ada rekayasa, pastilah segala  dariMu, tak ada lagi tempat berlalri selain Engkau, dan tak ada pula kebahagiaan selain Engkau.

Ilahi, Engkau hidupkan aku dengan ma’rifat padaMu, maka janganlah Engkau matikan aku dengan ingkar padaMu.

Ilahi, Engkau perlihatkan sambungMu kepadaku, janganlah Engkau tampakkan sedikit pun pisahMu padaku.

Ilahi, bila Engkau tak bertindak apa yang kami kehendaki, maka berilah kami kesabaran atas apa yang Engkau kehendaki.

Ilahi, habiskan dzikirku demi mengingat keagunganMu. Ungkapkan lisanku dengan sifat anugerahMu, dan kuatkan diriku untuk mensyukuri nikmatMu.

Ilahi, kasihanilah daku, karena begitu lemahnya ketika menghadapi kehidupan yang berat, begitu bodoh dengan usaha, begitu bingung dalam mencari.

Ilahi,Engkau jadikan sebab apa yang Engkau berikan, adalah karena harapan padaMu, dan usaha yang memadukan antar wali-waliMu adalah kelembutanMu pada qalbu-qalbu mereka.

Ilahi, maka berikanlah harapan itu seperti Engkau memberi harapan padaku. Padukanlah diriku dengan para waliMu sebagaimana Engkau berikan kasih saying antar qalbu.

Bagaimana seseorang masih butuh, sedangkan Engkau adalah bagiannya? Bagaimana seseorang masih gentar sedangkan Engkau adalah kebahagiaannya? Atau bagaimana menjadi hina sedangkan Engkau adalah Kekasihnya? Atau bagaimana seseorang susah, sedangkan Engkau adalah  miliknya

Ilahi, Hasratku padaMu telah membatalkan semua kegelisahanku. Dan cintaku padaMu telah menghalangi nyenyaknya tidurku. Rinduku padaMu menghalangi kelezatan-kelezatan. Dan mesraku padaMu membuatku gentar untuk berpaling selain DiriMu.

Ilahi,, Engkau pun memberi wewenang pada orang yang memusuhiMu, bagaimana Engkau akan memusuhi orang yang menjadi waliMu?

Ilahi, ma’rifatku padaMu adalah buktiku atas DiriMu, dan cintaku padaMu adalah perantara menuju kepadaMu.

Ilahi, para pecinta mengenal keparipurnaan RububiyahMu, sedang para pendosa adalah cipta dan sempurnanya kuasaMu, maka  mereka pun menyerahkan diri padaMu dan mencari selamat  padaMu.

Ilahi, jadikanlah diriku tergolong orang yang tidak mengambil kekasih selain DiriMu, dan tidak menempuh jalan selain padaMu, orang  yang berharapkan selain dariMu.

Ilahi, Jangan jadikan aku tergolong orang yang memalingkan dirinya dari WajahMu, terhijab dari ampunan dan tertutup dari pintuMu, terputus dari sebab-sebab perlindunganMu dan mengandalkan dirinya sendiri. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segalanya.

Malik bin Dinar ra,  berkata, “Aku melihat seorang budak perempuan sedang bergelayut di tirai Ka’bah sembari bermunajat:

[I]KepadaMu kami datang, dan Engkau datang pada kami[/I]

[I]Tak satu pun yang menghidupkan kami
Darimu kami memburu, sedang Engkau telah memiliki kami
Tak satu pun selain DiriMu datang padaku."[/I]
Share:

Nyata

Kau bilang aku “sadar”
tetapi kau “sukar”

Kau bilang aku “tegar”
Tetapi kau “gentar”
kau bilang aku “tunggu”
Tetapi kau “nanti”
Entahlah….

Sandal-sandal bertebaran, diambil tak bersapa
Aku orang tak berpunya
Tertidur dalam alam nyata
Atas nama apalagi kau nyatakan cinta?
Nyanyi sunyi di badai luka
Hampa memakna
Terhempas udara senja

Aku si buta
Bertanya rasa
Tahu segala nyata
Hanya berpura

Diamku,
Ingin mengeja pusat segala titik
Menghimpun segala berisik
Ini berbalik
Diamlah..!
Ah, kau terlalu baik
Untuk menyatakan diri tak munafik!




Share:

Jumat, 22 November 2013

Bahkan

Bahkan, ketika aku terbujur mendingin di sudut kamar, adakah dari kalian yang hadir, atau paling tidak menanyakan kabar? Sedang adakah dariku yang berusaha menitip absensi untuk tidak hadir dalam sakitmu, sakit kalian? Aku tidak pernah mengatakan itu tidak adil kawan!

bahkan, ketika aku sendiri terpuruk lalu menulis sajak, adakah dari kalian yang bertanya, atau paling tidak membacanya? Sedang adakah dariku yang berusaha untuk menitip tanya tentang keadaanmu, keadaan kalian? Aku tidak pernah mengatakan itu tidak adil kawan!

Bahkan, ketika aku sudah tidak pernah cerita menarik tentang keluargaku, adakah dari kalian yang mau berhenti sejenak menanyakan atau memberhentikan? Sedang adakah dariku berusaha lari untuk tidak mendengarkan ceritamu, cerita kalian? Aku tidak pernah mengatakan itu tidak adil kawan!
Bahkan,  aku tulis kata-kata ini masih ada yang bilang ini kata alay kurang kerjaan, sedang adakah dariku mengatakan kurang kerjaan ini kepadamu, kalian ketika  benar-benar terpuruk? Barangkali dirimu, kalian ingin menjadi “saya” sejenak? Aku tidak pernah mengatakan itu tidak adil kawan!


Share:

Malamku

Malam-ku 19 oktober 2013.  18.00

Kalau saja sudah datang waktunya tidak ada kawan,
aku tidak akan pernah bosan,
menikmati secarik kertas kehidupan,

Biar mereka bertandang, lalu ditendang dengan senapan keangkuhan.
biar mereka mengobral keadilan, setelah itu dipenjarakan.

Ada dusta, diantara penghormatan yang berlebihan,
aku tahu! Tatapan pembangkangannya diatas perjanjian akal dan nafsu.

Ambisi tentang ke-Aku-an yang hadir dalam persidangan.
Lihatlah! Setiap pertemuan rasionalitas selalu jadi kawan ke-aku-an,
Barangkali kalian tidak sadar?
Pejamkan mata untuk lihat betapa lucunya sebuah tontonan ke-aku-an.

Malam-ku 19 oktober 2013 18.04

Nasib sama, adalah dilahirkan dengan ketidaktahuan.
Beranjak besar lalu jadilah kelas-kelas ke-kotak-an,
Perbedaan dipertontonkan bukan lagi anugerah,
Hanyalah pagelaran topeng monyet di pinggir jalan,
Lalu apa bedanya?
kita hanya diperbudak oleh sekawanan sistem,

Dikomersilkan setelah itu di-asing-kan.
Bagaimana ingin berlari?
Jika rantai secarik ijazah jadi pedoman
Sungguh, aku memang bersembunyi dalam kemunafikan

Karena sudah tidak ada lagi kejujuran,
aku bosan!
Share:

Sajak Tak Bersajak


Akhirnya semua tiba pada waktunya-
Dimana, kita harus saling bertegur sapa.
tentang cinta yg berguguran di tepian rasa.
Akhirnya semua lupa pada waktunya-
Dimana, kita saling tidak tahu,
tentang kabar burung gereja di pagi buta.

Badai luka, adalah ruang dan waktu terbatas-
Dimana, suka dan duka pengisinya.

terpaan keterbatasan-
membuat sekian manusia berunjuk rasa
menyuarakan hak dan meninggalkan kewajiban.

Tuhan, Maha Entahlah-
sebab ketidakterbatasanya mengabsen kealpaan.
Tuhan,Maha mana kutahu?

Aku tulis sajak ini, untuk se-siapa saja
yang mau tahu dg tidak tahunya-
yang mau lalu dg masanya-
yang mau-mau saja!
Share:

Sketsa Senja III

Terbangun, diantara sela mimpi takjubku. Ada suara pukulan dari potongan kayu meramaikan suasana subuh yang entah ke berapa dalam hidupku. Pintu-pintu digedor-gedor oleh pengurus pondok menyuarakan adanya pembangkitan diri menuju sumber suara. Yah,suara adzan subuh berkumandang di seantero desa benda. Tidak ada lagi suara yg lebih nyaring selain berkumandangnya adzan subuh ini, suara serak basah tanpa harus dicampuri, bagai cantik tanpa kosmetik  tidak ada yang dibuat-buat. Terdengar pula suara tidak nyaring di setiap lantai, suara peringatan! “semua santri, untuk segera mendatangi masjid An-Nur guna menjalankan shalat shubuh berjama’ah dilanjutkan dengan mengaji Al Qur’an di kelas masing-masing, waktu tinggal 3 menit, terlambat cekrik(potong rambut sebelah)!” lontar pengurus. Para santri bergegas berlari, berjalan dengan kantuknya masing-masing. Ah, subuh terlalu sejuk dan dingin untuk kita berceloteh memang, lebih baik diam dengan pemikiran yang masih bening, bagai embun pagi.
Tak lama, Abah yai rawuh dalam pengimaman, iqomah dilantunkan oleh beliau Kang Domo(Putra An Nur) orang yang sudah mengabdi selama 13 tahun ini. siapa yang tidak mengenal Abah yai di pesantren Al Hikmah? Ah, pertanyaan ini tidak perlu dinyatakan kembali,  sudah barang tentu para santri mengenal beliau entah lewat jalur mana cara mengenalnya. Seusai sholat dilanjutkan wirid ba’da shalat  “Allahumma antassalam waminkassalam wa ilaika yarji’ussalam fahayyina rabbanaa bissalam, wa adkhilna jannata daarassalaam, tabarakta rabbana wa ta aalaita yaa dzaljalaali wal ikram. (
Ya Allah Engkaulah As-Salam (keselamatan, keberkahan, kemulian, ketenangan) dan keselamatan dari-Mu dan keselamatan kembali padaMu, berilah keselamatan dalam hidup kami, Dan masukkan kami ke dalam surga Darussalam, Maha Suci Engkau ya Rabb yang Maha Luhur, yang Maha agung dan Maha Mulia.
Seusai do’a bersama, para santri bubar dengan niat masing-masing, ada yang berlari dengan tujuan ingin menjadi urutan pertama dalam setoran pengajian Al Qur’an biar cepat pulangnya, ada yang berlari untuk menyelamatkan sandalnya, hehe..ada pula yang berlari untuk bersegera ke toilet, hehe..dan masih ada-ada saja.

***
Tepat 08.00 Wib, berseragam hitam putih dibalut dengan jaket seragam osis SMP Al Hikmah, aku bergegas mendatangi gor, ya ini acara maulid Nabi tepat tanggal 29 maret 2008, dimana aku akan dpertemukan secara berhadapan pertama kalinya dengan gadis berwajah senja itu. Oh ibu, anakmu yang satu ini sudah habis pikir untuk mencari cara awal komunikasi, karena ini baru pertama kalinya. Tiba-tiba dalam lamunanku di depan sana, dikejutkan dengan kehadiran yang sudah tak asing lagi, dua orang yang berjalan berseragam sama persis sepertiku tapi mereka tanpa peci melainkan kerudung, hehe. Mereka adalah anggota panitia konsumsi yang sudah dibagi jobnya pada saat rapat maulid nabi di gedung SMP Al hikmah. Awal yang kaku dengan sapa salah satu dari mereka, Ka? kami sudah persiapkan konsumsinya, tinggal pembayarannya saja, celetuk Nisa. Mataku masih memandang takjub pada gadis sebelahnya Nisa, ya dia-lah gadis berwajah senja itu, mata tertunduknya, rona pipi dan senyum tipis yang mengemban membuatku tak bergeming dengan celotehannya Nisa. Eh, dengan beraninnya Nisa melambaikan tangan. Ka Ali…!terkejut dibuatnya bergegas aku menata kembali berdiriku.” Eh, iya Nisa, jadi gimana tadi konsumsinya?” timpalku. “Hu… Ka Ali memikirkan apa sih? Dari tadi Nisa itu mengulang-ngulang kata-katanya loh.” Jawab Nisa. “Oh iya maaf, tadi baru saja aku berfikir banyak ternyata ya, keindahan yang dikebiri, tuh contohnya patung-patung di borobudur, tapi tidak selamanya memang keindahan yang dikebiri itu seperti patung, bisa jadi manusia menjadi obyeknya, tapi tidak berlaku perempuan yang ada dihadapanku, eh maaf maksudku ibuku” jawabku. Ah, aku gak mengerti ka, kata-kata itu tadi barusan, yang jelas saya dan temanku ini sudah mempersiapkan konsumsinya, tinggal pembayarannya saja” timpal Nisa.  syukurlah Nisa tidak tahu maksudku. Aku lalu menyodorkan uang untuk pembayaran kepada gadis berwajah senja itu, lagi-lagi tangan Nisa selalu menyambut terlebih dahulu. Pada akhirnya aku hanya menatap wajah senja itu tanpa berbicara sepatah kata pun terhadapnya. Dan dia pun pergi kembali menghilang perlahan dari hadapanku. Entahlah, aku tak pernah menanam apa-apa, dan aku pun takkan pernah kehilangan apa-apa. Tetapi jika aku menanam cinta? Entahlah…
acara maulid berjalan dengan baik, ini adalah pertama kalinya SMP Al Hikmah mengadakan acara tersebut dengan melibatkan kelas akhir sebagai panitia, yah..ini memang sudah menjadi kehendakNya.
***
Senja ini, setelah berakhirnya acara maulid nabi, aku duduk ditemani padi menguning yang makin merunduk, dibelakang komplek Al hasan ini, ada bebukitan menjulang tinggi, kabut putih menyelimuti puncak Gunung Slamet. Keindahan dengan ketinggian 3.432 m, merupakan gunung teritnggi kedua di jawa setelah merbabu. Gunung Slamet masih berstatus sebagai gunung berapi yang aktif. Aktifitas vulkaniknya masih terus berlangsung hingga sekarang. Aktifitas yang paling terlihat tentu saja semburan belerang di kawahnya. Selain belerang, sumber air panas yang ada di kaki gunung ini juga menandakan bahwa gunung ini masih beraktifitas. Gunung Slamet terletak di lima wilayah administrasi, Tegal, Pemalang, Purbalingga, Banyumas dan Brebes. Masing masing daerah memiliki jalur pendakian tersendiri dengan puncak tersendiri. Gunung Slamet memiliki tipe gunung khas gunung gunung di Jawa Barat. Dengan hutan yang lebat di sepanjang jalur pendakian dan minimnya padang sabana. Hampir seluruh jalur pendakian tertutup hutan tebal, hanya terdapat sedikit trek terbuka. Tapi sayangnya puncak dari jalur Guci bukanlah top puncak. Top puncak adalah dari jalur pendakian Bambangan dan Kaligua. Hmm, entahlah.. kapan aku bisa mendaki gunung slamet. Tak lupa, jari jemariku yang tak jarang bermusuhan memegang pena dan setumpuk buku diary usangku. “ ada sajak berbaris rapi yang kian menepi, meski sepi sudah akhirnya ingin bertemu kembali. Aku tidak pernah tahu kapan kesudahan ini berakhir,  tentang kerinduan yang terobati meski sekejap. Akhirnya semua tiba pada waktunya- ketika sudah tidak ada lagi cara untuk berbagi, tidak ada lagi cari untuk menahan sepi. Baru saja ku lihat bidadari bumi datang menghampiriku, wajah indahnya sudah tak lagi ku hiraukan, karena bentuk jasadiyah akan lapuk di makan usia. Aku sudah tidak tahu mencintainya karena apa, karena aku tidak ada apa-apa untuk mengapa-apakan tentangnya. Perwujudan jasad adalah simbol hadirnya ia yang sejati, meski aku  tidak pernah tahu dia yang sejati. Namun, aku nyaman jika melihatnya meski dari kaca jendela sekalipun yang selalu jadikan media melihatnya. Aku tidak pernah menghiraukan tentang cinta yang isunya mampu patah-patah, retak dan kadaluarsa. Sebab aku sedang mengisi gelas yang kosong, apapun yang akan terisi, gelas tetaplah gelas tak akan berubah namanya. Biarlah, senja ini adalah saksi yang bisa menyuarakan kesaksiannya tanpa harus menyelipkan amplop berisi rupiah kepada kantong yang lainnya. Biarlah, waktu yang akan menjawab tentang keberadaan kita di persada dunia fana ini.  bukan lagi tentang cerita laila majnun. Aku hanya tahu, bahwa laila adalah malam, sedang majnun  adalah orang gila. Hingga aku ingin menggabungkan bahwa malam adalah tempatnya orang menggila dalam bersuluk menuju jalan hakikat. Malam adalah gelap berwarna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk menyamarkan yang sejatinya “ada” itu “tidak ada”, sedangkan yang “tidak ada” diterka “bukan”, yang “bukan” diterka “ya”. Dan ini bukan hanya kisah pemuda yang terlena tentang cintanya kepada manusia saja, melainkan cintanya kepada pemilik cinta. Aku tunggu dikau dengan tidak tahuku”.
                                                                                                        17.45 Wib 29/03/2008

                                                                                                       Catatan untukmu gadis berwajah senja.

            Bel tanda persiapan shalat jamaah maghrib berbunyi, pertanda aku harus mengakhiri catatan di diary usangku hari ini juga. Aku bergegas menutup rapat, berdiri tegak menatap ufuk barat, oh..ini memang senja yang indah, meski tidak semua dapat mengindahkan, dan mendefiniskan tentang sketsa senja ini, tidaklah penting! Yang jelas senja tetaplah senja bagian dari kehidupan kita yang sebentar dan pasti terlewati.

Bersambung…
Setiap orang adalah lakon. Bukan figuran, 
Share:

Sketsa Senja II


Diamku, sejenak  menghela nafas dalam diantara tamu undangan rapat acara Maulid Nabi, tertunduk dalam seperti orang yang benar-benar asing, hati yang berbunga-bunga hanya mengatakan dimana dia? Sedari menunduk  tadi tidak kulihat dia, kutenangkan betul ketegangan jasadku walau hati benar-benar penuh bunga yang berharap semerbak wanginnya. Aku benar-benar seperti mencari jarum yang jatuh dalam tumpukkan jerami, ataupun mencari mutiara yang jatuh dalam lumpur. Diruang yang diisi 30 orang ini, sepertinya memang banyak wajah-wajah yang tidak kukenal,  terkecuali gadis berwajah senja itu. Ketika kucoba menfokuskan dalam kepanitian acara maulid nabi yang disampaikan oleh ketua, pintu yang ditutup rapat terbuka perlahan  diiringi masuknya dua gadis secara berurutan, salah satu darinya berucap “mhon maaf atas keterlambatan kami”, aku lihat dengan jelas tepat dibelakang gadis yang berucap permohonan maaf, tak asing wajahnya, berkerudung  belang hitam corak hias putih yang pernah kulihat di masjid, dia adalah gadis berwajah senja itu,  kau tahu bukan? Jarum dalam tumpukkan jerami dan mutiara dalam lumpur telah ditemukan, iya semua itu bukan mimpi, berkali-kali kucubit lenganku ternyata sakit, hehe. Dia pun duduk tepat ditengah,  aku lihat wajahnya bersemu merah,nafasnya tidak teratur, mungkin dia berlari kecil ketika hendak memasuki ruangan rapat.ketika ditengah acara, mas ketua ozan(sebutan populernya  ciblek, hehe) mempersilahkan dia gadis berwajah senja  selaku bendahara untuk melaporkan kas bulanan dan anggaran untuk acara Maulid Nabi. Oh Ibu…ini pertama kalinya anakmu mendengarkan suaranya, gugup merdu terlontar dalam ucapannya, entah karena apa yang jelas perlahan kutemukan bunga yang semerbak wangi, menghilangkan keterasingan yang melanda . Acara demi waktu menghampiri usainya, kini pembagian kepanitian disebutkan, aku tercatat sebagai koor. Konsumsi, mungkin melihat tubuh kurusku kali ya, supaya bisa memperbaiki gizi, hehe…itu tidak penting jelasnya ada yang lebih utama, ya…. Tidak terduga dia gadis berwajah senja itu menjadi anggota konsumsi. Adzan dhuhur mengakhir acara Oh…Ya Rabb aku tak mampu membayangkan untuk hari esok…
***
Semilir angin begitu menyejukkanku, di pematang sawah dekat grand house(sebutan buat tempat tanaman hias yang ditutupi jaring-jaring kecil),diiringi cahaya merah gegap geminta terbentang diufuk barat ,ditemani dengan ocehan para supporter  bola ala santri(pakai sarung), seperti biasa ustadz yang dikenal sebagai senior yang mau kumpul rembug dengan para junior sudah berdiri tegak di lapangan, semangat gigihnya tidak hanya dilihat dalam bermain bola saja, namun beliau mampu melewati 20 tahun di pon. Pes Al Hikmah, suka-duka beliau lewatkan dengan berbagai cerita dalam pengajian kitab  Safinatun An-Najah(Perahu yang selamat)yang terkadang membuat tawa dan sedih para santri, beliau dijuluki Lurahnya Abdi Dalem( abdi dalem;santri yang bekerja dalam titah kyai). Beliau tidak pernah sedikit pun terlihat rentan dalam menjalankan tugasnya, berbeda denganku yang suka bermalas-malasan, kebiasaan santri al hikmah, memang menyukai mengundang marah pengurus komplek, dengan berbagai aksi, dari acara membolos, terlambat bangun dan jama’ah. Pernah suatu saat telat bangun karena pada malam itu aku melek bengi(terjaga), ternyata pas subuh ustadz senior yang bernama lengkap Slamet Sofyan, membangunkan para santri dengan membawa gayung berisi air penuh,bak menyirami tanaman di ground house saja, ustadz senior ini menyiramkannya terhadapku, segeer…ya tetapi rasa pekewuh(malu) begitu menjelma dalam ingatanku. Semenjak itulah aku selalu bangun sebelum beliau ngoprak-ngoprak(membangunkan, menyuruh berangkat jama’ah) walau terkadang aku berpura-pura duduk bersila dengan mata merem melek..hehe.
Akhirnya usailah pertandingan sepak bola ala santri, diikuti catatan diaryku yang penuh rasa dalam senja ini, ku tulis jelas “ kehidupan ini bagai bola dalam bawaan pribadi masing-masing, semakin tangguh-rapuh pembawanya, semakin nyata pula apa yang diharapkan dan tidaknya”. Aku bergegas hendak ke komplek bersiap membuka telinga lebar, hati yang semoga dilapangkan, Al…terdengar suara ustadz Slamet menyapaku, memberi kode etik…siap komandan!(dalam hatiku,hehe). Seperti biasanya ustadz senior yang  tak asing ini selalu mengajakku makan, ngopi dan duduk bersama. Ini memang berawal dari pengajian kitab Safinatun An Najah, seusai pengajian kitab tersebut, aku pun masuk kamar ustman bin ‘affan. teman baikku asep menghampiriku kemudian menyampaiakan pesan bahwa ustadz slamet mengundangku untuk ke gubuknya. Dengan bertanya besar aku mendatangi gubuk tercintanya, ternyata ustadz slamet telah menyediakan makananan untuk disantap bersama, dan semenjak itulah hingga akhir beliau disini aku tetap jadi santri dekatnya. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang harus aku sampaikan kepada ustadz yang satu ini, termasuk kedekatanku juga dipertanyakan teman-temanku, namun aku urung untuk bertanya. Sebab, aku percaya pertanyaanku lebih indah terjawab seiring dengan realita yang aku hadapi, itulah jawabannya..!! seusai makan dan bercanda riang di gubuk beserta para abdi dalem , aku pamit untuk segera bersiap-siap jama’ah shalat maghrib, seperti biasa suara lantang pengurus komplek mengumandangkan kata ampuhnya “waktu tinggal 10 menit, yang terlambat dicekrik(potong rambutnya)”

***
Disini, dalam ketersendirianku,  menatap atap-atap kerapuhan, kesunyian melanda, berbagai persepsi tercipta, ada bayang-bayang nyata menghampiri ketersendirianku, entah aku sedang berada dimana, di gurun  yang tak kunjung menemukan oase-kah? Menutupi kerapuhan yang sejatinya memerlukan pelepas dahaga-kah? Terlalu angkuh-kah? jika haus tak pernah mencari air, jika sakit tak pernah mencari tabib(dokter),jika lapar tak pernah mencari makan? Ada entah berapa partikel yang saling berkait dalam diri setiap manusia, yang menyebabkan sebab-akibat menjadi penentu partikel tersebut. Siapa sebenarnya penciptanya? Bukankah lebih memegang kendali dengan wujud kekuasaan? Meski, banyak dari keterwujudanNya selalu adigang, adigung dan adiguna. Meski banyak kekuasaanNya itu di nilai seperti biji sawi, dan mengaku sebagai bagian dari kepemilikan kekuasaan? Aneh, ketidakmilikan yang dititipkan sering membuat perebutan kekuasaan fana, apakah itu bias dari dua sinar yang berlawanan? Hingga malah menjadi fatamorgana.
Sadar, ketersendirianku menyebabkan aku berdiskusi ria dengan batinku, entah berapa lama yang jelas aku ingin melanjutkan dengan muroqobah(kontak batin dengan wali mursyid tarekat). Ku awali dengan memejamkan mata jasadku, bahwa memejamkan adalah menghindari tegur sapa dengan ketidakmanfaatan, ketidakjelasan mata jasad dalam setiap berkedip. Hanya dalam keadaan mata jasad tertutup, manusia pilihan yang intiqal(berpindah alam) dikatakan khusnul khatimah, manusia mampu berkomunikasi dengan batinnya(hati). Setiap hela nafas yang menderu ialah awal dari langkahku memejamkan mata jasadku, menyelusuri lorong hitam berkabut putih tebal yang kadang membuat terombang-ambing dengan pernyataan titik temu yang sering dinisbatkan dengan kata kebenaran. Aku sering tertipu daya akan kenikmatan dalam tertutupnya mata jasad, padahal kenikmatan yang suka menipu lagi melalaikan adalah cobaan. Sayang, rupa,warna dan bentuk acapkali membuat terlalu unggul diri, terpedaya sehingga terhenti langkah-langkah selanjutnya. Setelah kulewati kabut putih tebal, Nampak banyak jiwa berbaris rapi, berjubah putih, bersyibhah(di tangannya memegang tasbih), melafalkan hadroh kamilah(baca;syair-syair). Menanti kedatangan sang guru, suara redam melihat sosok tersebut, dengan jalan wibawanya, senyum berkembang disetiap kedip mata, sungguh, aku merindukkan sosok yang selalu tenang dalam keadaan apapun, beliau sedikit pun tak mempunyai wajah yang berkerut-cemberut, tahu akan bedanya bukan? Wajah periang terlihat segar untuk dipandang, sedang wajah sayu terlihat?....beliau berdiri tanpa mimbar, meski beliau berderajat, mengisyarahkan untuk melingkar. Aku yakin betul, ini berkaitan dengan teori titik(nuqtah), kebetulan  Aku sendiri mendapatkan undangan  yang berbentuk lingkaran, dengan hiasan angka nol (0) di atasnya, yang bertuliskan, "Keterwujudan dari kehampaan, kehampaan dari ketiadaan, ketiadaan dari kegaiban, kegaiban dari ketakterhinggaan, dan ketakterhinggaan dari cinta keabadian". Ketika kubaca dengan seksama, kata demi kata, yang terukir indah di dalam tulisan tersebut, tiba-tiba saja, sang guru yang merangkai undangan itu untukku, bertanya kepadaku, "Tahukah kamu, dari manakah asal-usul huruf-hurufku ini?". Aku hanya terdiam mendengar pertanyaannya. "Huruf itu berasal dari kumpulan garis, garis berasal dari titik yang diperpanjang, titik berasal dari nuqt}ah hitam. Dengan demikian, maka deret angka berasal dari angka sebelumnya, dan angka sebelumnya berasal dari angka nol (0). Oleh karena itu, maka nuqt}ah atau titik hitam, identik dengan angka nol (0). Nol (0) adalah titik nuqt}ah, dan titik nuqt}ah adalah nol (0)". Karena huruf tersebut masih penasaran dengan jawaban,  kembali bertanya, "Bagaimanakah caranya menunjukkan keidentikkan, antara titik nuqt}ah dengan angka nol (0)?". Jawab beliau , "Jika angka 10 (sepuluh) Latin ditulis dengan angka 1 dan 0, maka angka 1. (sepuluh) Arab ditulis dengan angka 1 dan . (titik). Dengan demikian, jika 1 sama dengan 1, maka nol (0) sama dengan titik (.) atau nuqt}ah". "Jika sebuah nama terangkai dari beberapa kata, dan kata terangkai oleh beberapa garis, dan garis terangkai oleh kumpulan beberapa titik, dan titik terangkai oleh kumpulan titik-titik nuqt}ah yang lebih kecil, maka dapat disimpulkan, tidak akan ada sebuah nama, jika tanpa adanya titik nuqt}ah!". "Ya", jawabku. "Siapakah yang mendahului nama, yang terangkai oleh beberapa kata tersebut?". Jawabnya, "Yang mendahului nama, adalah zat atau benda yang diberi nama. Misalnya begini, Anda tidak bisa menyebut sebuah benda itu dengan nama angin, jika zat angin-nya tidak pernah terwujud. Anda tidak bisa menyebut benda itu dengan nol, jika zat bendanya (0) tidak pernah terwujud". "Apakah sama, antara nama dengan zat bendanya?". Jawabku, "Apakah sama, antara tulisan spidol yang tertulis di depan papan tulis, dengan benda spidolnya, yang tersimpan di belakang papan tulis?. Apakah sama, antara tulisan Allah yang tertulis di papan surat cinta, dengan zat-Nya, yang tersembunyi di balik hijab kegaiban mutlak-Nya?". "Tidak sama", jawabnya. Lanjut beliau, "Oleh karena itu, antara nama dengan zatnya berbeda".
            Setelah melingkar, mendekap segala rasa asa yang dibawa, kini seolah hancur lebur tak tersisa memandang wajah indah ciptaan-Nya, itulah mahabbah, sebesar dan sekecil apa bukanlah ukuran ketenangan dan kenyamanan menikmati keindahan. Berbeda dengan orang yang sudah mampu benar mahabbah, ia suka rela melepaskan apa pun demi mendapat cinta dari Sang Pemilik Cinta. Bahwa jalan berliku, menanjak, lurus berlubang hanya uji coba yang suka diseriuskan melebihi keterbatasan makhluk.

Sang guru pun bersabda : Kekasihku tidak bisa membaca dengan mata kepala, tetapi ia bisa melihat dengan mata hati. Kekasihku tidak bisa menulis dengan tangan, tetapi sentuhannya menuliskan kedamaian. Kekasihku adalah cinta pertama, sehingga dialah asal semua cinta.

Bersambung.......


.


Share:

Sketsa Senja I

             Senja ini, kutatap rerimbunan daun berjatuhan, terhempas angin hebat yang sesekali menggoda. Laksana para darwis yang menari-menari  mengekspresikan dzikir jawarihnya, burung-burung walet  bertebaran terbang menggerombol mencari sarangnya, hati yang terkadang kalah dengan nafsunya. Sudah lama aku duduk termenung diatap-atap rumah dengan ketidakpastian yang melengkapi hidup, berharap lebih dengan kunjungan sedikit jawabannya, berkaca mata melihat realita, tangis-tawa adalah bagian  ekspresi menentramkan jiwa yang begitu rapuh ini, dihampiri beribu-ribu dosa tentang luka-duka terhadap manusia. Sekian banyak sudah persakitan yang menyebabkan luka-duka ini terjadi, tentang cinta alif ba ta tsa yang terbata-bata, menghampiri ribuan kenangan memori senja. Ratapan-ratapan senja apalagi yang harus aku lakukan? Demi menghilangkan kabar-kabar ketidakpastian ini..?? kabar yang menggetarkan hati, menutup rapat lisan, dengan mata bertutur duduk di persimpuhan. Bukan aku tidak percaya dengan penjelasan-penjelasan, akan tetapi aku merasa tidak berdaya dengan kenyataan yang sekarang menghilangkan sadarku. Kau tahu bukan? Dipelataran sudut rumah hatiku sambutan senyum sapamu  adalah bagian penting dari penulisan sajak-sajak hidupku, berlebihankah aku? Bagi siapa pun jika diiringi dengan senja yang penuh dengan renungan, tentu merasakannya, bukan janji-janji pagi yang penuh gairah namun lupa senja.
                                                                                                ***
Bel berbunyi  tiga kali, mengisyaratkan anak-anak untuk segera berkumpul di halaman sekolah MA, halaman sekolah kami begitu sempit membentuk letter  “L” sebab mengelilingi GOR yang dalam kiprahnya bukan lagi sebagai tempat olahraga, melainkan tempat menunaikan segala rutinitas yang menjadi kewajiban anak pesantren “Shalat jama’ah dan mengaji”. Aku dan kawan-kawan sudah tahu bahwa hari ini  ada orasi pemilihan ketua osis besar-besaran dari pemilik masing-masing kubu pendukung, adu gengsi sepertinya nampak jelas dipermukaan, tidak jarang mereka beradu suara lantang mengejek antar jurusan. Sebenarnya, tindakan eja-mengejek sudah menjadi kebiasaan para pendahulu kami, maklumlah dari kelas satu kami sudah harus menentukan jurusan, selain itu juga bentuk kasih guru terhadap jurusan yang biasa-biasa saja yang dianggap santai tersamarkan dan dipusatkan untuk kelas unggulan. Ada tiga calon siap melontarkan amunisi-amunisi kata indah, tentu Ali Ibrahim  maju terlebih dahulu dari mereka, jelas  karena dia memang ketua osis yang akan segera tergantikan, dengan sambutan yang meriah melontarkan kata-kata yang ia ambil dari gadis berwajah senja  itu “ Kita benar-benar tidak akan pernah tahu, jika hanya lisan saja yang bergerak hebat dibandingkan tindakan . berdirilah tegak lurus dengan langit itulah cerminan manusia(manut kasajatining rasa; mengikuti kehendak hati nurani). Dibalik jendela kaca lantai satu kelas XI  IPA, ada  tatapan yg begitu sejuk, senyum mengemban melukiskan kebahagiaan, entah karena apa ia tiba-tiba tertunduk membisu, membuka catatan hariannya. dia tidak suka berlebihan mengemban rasa, begitu peka dan tegas dalam bertindak. Ali menyadari dari awal ada tatapan yang mempunyai arti lebih baginya, dibanding tatapan ribuan lainnya yang simpang siur tidak jelas kemana. Posisi dia berdiri disamping kelas tatapan penuh arti  tersebut, karena kelas tersebut berada disebelah barat pas tempat  pusat panggung orasi diadakan.  Segeralah ia menyelesaikan sambutannya, untuk mempersingkat waktu dalam  orasi.

***
Dalam diamku, bersitatap dengan senja, iya aku bertemu dengannya di senja tahun ketiga sebelum ini, tepat bertambahnya umurku aku bersitegang dengan gadis berwajah senja itu, penuh dengan renungan tidak berlebihan kirannya. Waktu itu secara tidak sengaja aku sedang melintasi masjid, diterasnya aku lihat dia sendiri, menulis apa entahlah. Aku lewatkan hariku tanpa adanya rasa, namun tidak tahukah? Kebiasaan dia di senja menulis apa entahlah itu aku tidak tahu tetap dijalani di teras masjid. Hingga suatu saat, aku memberanikan diri menulis surat berisikan rangkaian kata-kata yang aku sendiri tidak tahu apa tujuannya. Apakah aku melibatkan perasaan karena kebiasaanku menatap sekilas gadis berwajah senja itu?entahlah….yang jelas bagai orang kesurupan saja secara mudah merangkai kata-kata mungkin bisa disebut bernuansa perkenalan. Aku sendiri tidak pernah tahu, bagaimana berkenalan yang baik-baik, karena semenjak Sekolah Dasar tiba-tiba saja teman kelas mengenalku. Oh..Ibu ini anakmu pertama kalinya ingin berkenalan dengan gadis berwajah senja itu. Terkirimlah surat perdanaku lewat saudaranya yang kebetulan satu asrama denganku, berlabel pemuja rahasia selama 40 hari surat itu terhitung sepuluh ditangannya, entah d ia muak atau dibakar habis-habisan surat kecilku itu. Entah terbalaskan atau tidak surat-suratku. Aku hanya bisa menunggu, tanpa berharap lebih yang hanya menimbulkan kekecewaan yang dalam. Senja ini pun aku tulis sajak-sajak ketidakhdiran burung-burung  wallet yang mencari sarangnya, entah ini ratapan apa yang aku puja-puji,  mungkin langit telah memberi penjelasan dengan sederhana, namun aku tidak mampu membahasakannya. Karena buta terhadap dunia yang bersarang di hati, sudah jelas-jelas guru sejatiku al warasatul anbiya membahasakan dunia dan seisinya dibawah telapak tangan, bukan di hati!. Ya hati suka qollaba, berbolak-balik dengan temperatur yang didapatnya. Entah apa itu, ia lebih peka, ruang dan dimensi waktu tidak terbatas (mutlak) seperti halnya kita (berimajinasi )sedang berada di mekkah mencium hajar aswad. Apakah kita harus kesana? Bukankah tidak, cukup hatimu-lah sebagai pengendali anggota tubuh. Itulah yang aku bingungkan sekarang, apakah ini murni  hati? Ataukan perasaan yang dibalut dengan nafsu?.
Senja ini, lagi-lagi ku tatap dengan seksama, melihat sepasang burung gereja saling berkejaran di kabel tiang listrik, apa mereka tidak lelah…? Memadu kasih dengan terbang kemudian hinggap terbang kembali? Sunggguh aku diantara ketidak tahuan, berselimut entah apa ini namanya, mungkin rindu..ya kerinduan seperti di penghujung jalan, mentok tiada tara. Duduk bersila mencari ketenangan yaa daayimu, yaa daayimu. Entah berapa kali aku melafalkannya, hingga mata terkatup-katup, disaat acara selanjutnya yaitu tidur, aku dikejutkan dengan kabar yang menurutku bagian dari kabar langit yang begitu merdu didengarnya. Hmm…. Pemberi kabar ini tentu agen rahasia FBI atau kasarnya tukang posku ya saudaranya dia gadis berwajah senja itu. Kabar yang tertulis aku diundang rapat dalam kepanitian acara Maulid Nabi, artinya aku sudah pasti bertemu langsung denganya  tanpa harus dari kejauhan yang di ukur ratusan meter. Oh…Ibu anakmu ini akan segera bertemu dengan gadis  berwajah senja itu, rasanya aku ingin berteriak di kamarku di lantai 3, tetapi apalah artinya teriakan suara patah-patahku. Hanya akan menyimpan luka-duka jika tidak berujung.

Esoknya, bergegas ku tata rapi hati dan mataku, agar tidak buta dengan hari ini…
Bersambung……
Share:

Blogger templates